Prelude sesungguhnya digunakan untuk mengisi ruang-ruang melodi yang kosong pada awal motif, sehingga bila salah satu motif dimainkan, maka akan terkesan menjadi satu kesatuan utuh antara motif dan bagian melodi lagu. Prelude dianggap intro panjang oleh masyarakat setempat dan sering dibawakan dengan Solekng dalam kesenian Jonggan dan dalam upacara Naik Dango. Fungsinya memberikan penggambaran tentang kerangka lagu yang akan dimainkan dan untuk membentuk suasana hening, sakral, serta agung. Prelude ini bukan bagian yang berdiri sendiri, tetapi merupakan kesatuan dengan motif tabuhan. Hal ini karena prelude merupakan repetisi atau pengembangan dalam wilayah nada yang sama dengan motif tabuhan atau melodi lagu.
Prelude di atas merupakan bentuk lagu satu bagian yang terdiri dari tiga kalimat utuh. Bagian A atau kalimat tanya dimulai dari nada 1 (do) birama pertama sampai nada 1 (do) birama 8. Bagian B atau kalimat jawab (kalimat a) dimulai dari nada 5 (sol) birama 9 sampai nada 1 (do) yang jatuh pada birama 20. Bagian C dimulai dari nada 5 (sol) birama 16 sampai nada 1 (do) birama 20. Bagian ini merupakan kalimat jawab kedua (kalimat A’).
Kalimat A terdiri dari dua frase, yaitu frase tanya yang terdiri dari motif 1 dan 2, serta frase jawab yang terdiri dari motif 3 dan 4 (M3 dan M4). M2 merupakan pengembangan M1, M3 merupakan motif pokok frase jawab bagian A, sedangkan M4 adalah pengembangan dari M3.
Kalimat B terdiri dari dua motif, yaitu M5 sebagai motif tanya dan motif pokok frase tanya, serta M6 sebagai motif jawab yang merupakan pengembangan dari M5. Frase jawab bagian B dimulai M7 sebagai motif pokok sampai M8 yang merupakan pengembangan M7. Frase tanya digunakan untuk memberi variasi melodi dan tekanan pada konteks suasana yang ditampilkan oleh masing-masing pemain Solekng. Frase tanya ini ditahan pada nada 1 (do) pada birama 10 yang berfungsi untuk menampilkan motif pembentuk frase jawab, kemudian dilanjutkan pada motif berikutnya secara ascending dan berakhir pada nada 1 (do) birama 15, sehingga lengkaplah kalimat B tersebut menjadi satu bagian yang utuh.
Frase jawab kalimat B tergolong pendek, tidak sepadan dengan frase sebelumnya. Bagian ini terkesan hanya untuk menjatuhkan alur melodi pada nada do (satu oktav di bawah tonika), sehingga permainan terkesan belum selesai. Oleh karena itu harus dilanjutkan pada bagian yang lain. Disamping itu frase jawab ini berfungsi untuk memberikan peluang pengembangan nada-nada berikutnya, sehingga musik tersebut tidak terkesan monoton.
Kalimat C terdiri dari dua frase, yaitu M9 sebagai motif pokok atau motif tanya (pengembangan dari M8) dan M10 sebagai frase jawab atau pengembangan dari M9. Frase pada kalimat ini berfungsi untuk mempertegas jawaban dari frase tanya kalimat C, sekaligus sebagai pengantar kembali pada tonika. Disamping itu kalimat C berfungsi untuk mengantarkan kepada melodi lagu, sehingga antara intro yang dikembangkan (prelude) dengan motif terlihat seperti satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kebanyakan motif yang dimainkan tergolong asimetris (tidak sama panjang), karena Solekng dimainkan secara bebas dan tidak terikat dengan tempo, seperti terlihat pada motif 2. Mereka lebih mengandalkan rasa dan suasana seperti apa yang ingin ditampilkan lewat permainan tersebut. Motif ini sesungguhnya dimulai dari birama 4 nada kedua (la) sampai birama 5 nada pertama (sol). Sementara nada kedua (sol) birama 5 sampai nada pertama (sol) birama 6 merupakan pengulangan motif sebelumnya.
Dua motif pada frase jawab bagian A tidak simetris, karena nada 5 (sol) birama 6 sampai nada 3 (mi) birama 7 merupakan bridge atau penyambung menuju motif selanjutnya yang berfungsi untuk menyesuaikan dengan nada awal pada motif 4, sehingga dua motif tersebut dapat terjalin harmonis dan enak didengar.
M5 dan M6 merupakan motif simetris yang terdiri dari dua birama. M6 merupakan pengembangan dari M5 secara ascending. Pada bagian ini nada dinaikkan secara berjenjang menuju tonika, sehingga koma terkesan diberikan pada akhir motif tersebut. Walau bentuk sudah mencapai dua bagian, namun masih terdapat peluang pengembangan motif selanjutnya, sekaligus untuk mencapai titik atau penutup lagu. Selanjutnya M8 merupakan pengembangan dari motif 7 secara descending. Bagian ini berfungsi menyempurnakan frase tanya sebelumnya, sehingga lengkap menjadi satu bagian.
Prelude belum berakhir sampai di sini, karena tonika sesungguhnya berada pada nada 1 (do) satu oktav di atas nada terkahir M8. disamping itu antara prelude dan melodi lagu masih terpotong atau belum tersambung, sehingga diperlukan satu kalimat tambahan untuk menyambung kebagian lagu atau mengembalikan prelude tersebut kepada tonika. Oleh karena itu diperlukan kalimat C untuk mengakhiri atau mengantar kepada melodi lagu yang akan dimainkan.
Kalimat C terbagi menjadi dua motif, yaitu M9 sebagai motif pokok dan M10 sebagai bagian penutup. Selanjutnya M10 dapat menggunakan M7 dengan variasi ritme agar dapat disesuaikan dengan bentuk sebelumnya, sehingga bentuk C dapat menyatu dan sesuai dengan bentuk B. Sampai di sini lengkaplah pengembangan intro menjadi tiga kalimat secara utuh.
Setelah menganalisis bentuk prelude dan intro di atas dapat diketahui bahwa intro merupakan pengembangan dari melodi pokok lagu yang dibawakan, sedangkan prelude merupakan pengembangan secara bebas dari intro untuk diantarkan pada melodi lagu. Bagian tersebut merupakan jembatan penghubung sekaligus, memberi gambaran tentang motif yang akan dimainkan.
Melodi pokok lagu di atas berbentuk satu bagian yang merupakan penggabungan dua frase lagu, yaitu frase a sebagai frase tanya yang dimulai dari nada 5 (sol) birama pertama sampai nada dominan birama 3, serta frase b sebagai frase jawab yang dimulai dari nada 5 (sol) birama 3 sampai nada 1 (do) pada birama 5 secara descending.
Frase a terdiri dari dua motif, yaitu M1 dan M2 dengan alur melodi menurun. Frase b terdiri dari M3 dan M4. Lagu ini terdiri dari satu motif pokok dan tiga motif pengembangan. M1 merupakan motif pokok melodi lagu yang dikembangkan oleh M2. M3 merupakan pengembangan M2, sedangkan M4 merupakan pengembangan M3.
Melodi pokok lagu di atas secara keseluruhan merupakan melodi lagu yang simetris dengan alur melodi turun secara berjenjang. Akhir alur melodi pokok lagu pada frase tanya ditahan pada nada (sol) atau nada dominan, sehingga tampak kesan bahwa lagu belum selesai dan harus dilanjutkan kepada frase berikutnya. Selanjutnya motif tanya pada frase jawab merupakan motif penghubung untuk memasuki bagian akhir dari lagu yang terletak pada birama terakhir, sehingga lengkaplah musik tersebut menjadi bagian yang utuh dan terdengar harmonis.
Secara sekilas, bentuk melodi lagu tergolong sederhana dan monoton. Disamping itu alur melodi termasuk alur melodi yang menurun (descending). Namun dalam tradisi dan budaya setempat, bukan bentuk lagu yang dipentingkan, tetapi nilai-nilai religius yang transformasikan dalam musik tersebut, sehingga bentuk prelude ini dianggap sakral dan hanya boleh dimainkan pada tempat dan waktu tertentu. Ia dianggap sebagai wujud dari lambang ketaqwaaan dan kesucian yang harus dimainkan pada bagian awal lagu sebelum memasuki irama musik yang sebenarnya, layaknya dalam kehidupan masyarakat dayak Kanayatn, penyucian dan keheningan diri diperlukan untuk berkomunikasi dengan Jubata.
Melodi lagu di atas merupakan gabungan motif yang dimainkan dalam serangkaian melodi, sedangkan bagian prelude menjelaskan maksud dan makna motif tersebut bagi kehidupan masyarakatnya. Dari situ pula timbul penghayatan bagi orang yang memainkannya, dimana di dalamnya terdapat bentuk pengekspresian sikap religius masyarakat sesuai tatanan adat istiadat yang mereka pegang teguh dalam kehidupan.
Pengembangan intro seperti pada prelude di atas merupakan pengembangan secara bebas, sehingga terkesan masing-masing bentuk berdiri sendiri. Oleh karena itu diperlukan beberapa pengembangan motif tabuhan, baik asimetris atau simetris untuk menyesuaikan motif-motif pada bagian sebelumnya. Akibatnya karakter musik tersebut sangat berbeda dengan karakter musik pada umumnya. Hal ini dipengaruhi pula oleh perbedaan rasa dan latar belakang budaya orang yang memainkannya, sehingga karakter yang ditimbulkan masing-masing musik tersebut juga berbeda. Fenomena ini ditemui saat upacara Naik Dango XXI di Meranti, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Beberapa irama Solekng dibawakan secara berbeda dalam lagu yang sama. Kenyataan ini bukan disebabkan faktor teknik atau minimnya pengetahuan mereka tentang musik tersebut, tetapi lebih dipengaruhi faktor lingkungan, latar belakang sosial budaya, dan kebiasaan hidup sehari-hari, meskipun dalam lingkup satu kabupaten.
Kepustakaan
- Karl Edmund Prier, Ilmu Bentuk Musik (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1996), p. 3.