Skip to main content

follow us

Sebelumnya saya telah menulis Musik Dayak Kanayatn Dalam Upacara Balian Nyande 1. Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan tersebut. Saya sarankan anda untuk membaca artikel Musik Dayak Kanayatn Dalam Upacara Balian Nyande 1, karena bila tidak, maka kemungkinan anda akan susah memahami tulisan ini.

Sebuah upacara ritual tidak hanya dipandang sebagai hubungan antara manusia dengan penghuni alam gaib semata, namun ia menitik beratkan kepada kerukunan hidup antar warga, karena adanya kerjasama dalam ritual tersebut. Disamping itu upacara ritual juga berfungsi sebagai penyampaian kebaktian dan pengakuan manusia akan kuasa sang Ilahi. Hal ini ditunjukkan dalam beberapa prosesi dan bagaimana prosesi itu berjalan, serta berfungsi bagi kehiduapan sosial. Seperti terlihat pada Upacara Baliatn Nyande malam kedua, yaitu Mayar Niat (membayar niat) dan Ngangkat Paridup (mengangkat hidup). Adapun prosesi yang dilakukan adalah sebagai berikut.

2). Malam kedua

a) Ngangkat Paramu Ka’ Pene
Prosesi ini dimulai dengan Nyanghatn. Sesaji yang telah disediakan dibawa ke pene (tangga) untuk diberikan kepada makhluk halus agar tidak mengganggu orang rumah dan jalannya upacara. Pamaliatn membacakan mantra sambil menaburkan sedikit demi sedikit pupuk (sesaji). Pada prosesi ini musik tidak dimainkan karena pamaliatn memerlukan keheningan untuk berkonsentrasi saat membaca mantra dan berkomunikasi dengan makhluk halus.

b) Ngalu Panompo’
Ngalu Panompo’ adalah penerimaan sumbangan dari orang yang hadir atau tetangga dekat. Orang yang melaksanakan upacara Baliatn biasanya dikirimi tetangga mereka beras, ayam, gula, kopi, dan sebagainya. Panompo diterima oleh orang yang mengadakan upacara Baliatn, kemudian tamu yang datang disuguhi makanan oleh tuan rumah. Saat penerimaan Panompo dimainkan irama musik Bawakng Lajakng sebagai tanda syukur kepada Jubata dan terima kasih kepada para tetangga yang telah membantu upacara tersebut.
Upacara merupakan wadah yang mempersatukan dalam ikatan kekeluargaan. Adanya ikatan kebersamaan ketika mereka merayakan upacara, karena adat mengajarkan bahwa mereka bersaudara dan berasal dari satu nenek moyang yang sama. Begitu pula dengan musik dan upacara, ia menjadi lambang persatuan karena masyarakat disatukan dalam rasa kepemilikan budaya yang sama. Hal ini dapat dilihat pada prosesi Ngalu’ Panompo, dimana masyarakat saling bekerjasama dalam membantu pelaksanaan upacara agar berjalan lancar sampai upacara itu selesai. Disamping itu upacara Baliatn dianggap sebagai upacara besar yang memerlukan banyak biaya dan tenaga, jadi sudah sepantasnya warga setempat membantu kepada keluarga yang mengadakan upacara tersebut.
Orang atau keluarga yang mengadakan upacara Baliatn dianggap berada dalam kesusahan dan patut dibantu. Kejadian seperti ini akan berulang ketika keluarga yang membantu tadi mengadakan upacara, ia juga akan dibantu oleh keluarga disekitarnya. Dari sini dapat dilihat bahwa peran upacara tidak hanya sebagai wadah pemujaan, tetapi berfungsi sebagai penopang keharmonisan hubungan masyarakatnya. Fungsi ini dikandung pula oleh musik, karena dalam upacara tidak hanya dipandang sebagai bagian upacara, namun musik itu juga mengandung penggambaran kehidupan sosial masyarakat. Kehadiran musik dengan kesamaan unsur-unsur pembentuknya yang bersifat kolektif membuktikan bahwa musik Dayak Kanayatn mampu menjadi media pengintegrasian solidaritas masyarakat.

c) Ngalimano Manta’/ Ngalinse Jalu Tintingatn Mati
Ngalimano Manta’ adalah pemberitahuan kepada roh halus dan Jubata mengenai sesaji yang akan disajikan. Binatang persembahan biasanya dimandikan kemudian diberi minyak harum (wewangian) sebagai adab persembahan dan perilaku penghormatan. Irama musik yang ditabuh adalah Bawakng Baramutn sebagai tanda bahwa sesaji masih dalam keadaan hidup atau belum dimasak. Fungsi musik pada prosesi ini sama dengan musik yang dimainkan pada prosesi Baramutn malam pertama.

d) Ngalimano Masak/ Ngalinse Jalu Tintingatn Mati
Ngalimano Masak adalah pemberian makan kepada roh halus. Prosesi ini diiringi musik Bawakng Lajakng yang untuk mengiringi pamaliatn menari. Tarian yang dibawakan menggambarkan perjalanan pamaliatn menuju suatu tempat untuk berkomunikasi dengan makhluk halus. Komunikasi dilakukan untuk mengadakan perjanjian agar makhluk halus tersebut tidak mengganggu orang yang diobati dan mau memberitahukan penawarnya. Fungsi musik pada prosesi ini sama dengan fungsi musik yang dimainkan pada prosesi Jubata Manta malam pertama.

e) Parimain Muda
Parimain Muda adalah permainan tentang perkelahian melawan setan pengganggu yang diperankan oleh pamaliatn melawan manusia yang dibawakan Anak Samang. Permainan ini harus dimenangkan Anak Samang sebagai tanda bahwa roh jahat yang mengganggu dapat dikalahkan. Bila permainan tersebut dimenangkan oleh pamaliatn, maka si pasien tidak dapat disembuhkan, karena hantu yang mengganggu tidak dapat diatasi oleh pembantu pamaliatn tersebut. Prosesi ini diiringi irama Bawakng Nyangkodo sebagai penggambaran pertempuran suci melawan kejahatan yang akhirnya dimenangkan oleh kebaikan.
Musik pada prosesi ini berfungsi sebagai sarana pengungkapan keindahan. Pengungkapan ini bertujuan untuk menunjukkan ciri-ciri kebalikan dari keindahan alamiah¸ yaitu keindahan artistik yang merupakan penuangan rasa dengan berpegang pada nilai keindahan sesuai norma-norma budaya yang melingkupinya, sekaligus sebagai pendukung upacara agar upacara tersebut terlihat agung dengan segala kemegahannya. Hal ini karena sebuah karya seni akan dikatakan seni karena mengandung nilai estetis (The Liang Gie: 2004, hal. 69). Disamping itu setiap karya seni yang dipresentasikan memang khusus untuk dinikmati nilai estetisnya. Meskipun tujuan upacara dan musik adalah untuk pemujaan, namun pada sisi lain ia merupakan wahana estetis untuk dinikmati keindahannya.
Musik dalam upacara Liatn digunakan pula sebagai sarana respon fisik dimana ia dapat memberikan stimulus untuk bergerak. Musik merupakan ekspresi seni yang berpangkal pada tubuh yang terdiri atas suatu peredaran atau arus bolak balik dari membunyikan, mendengarkan, dan membunyikan kembali (Shin Nakagawa: 2000, hal. 42). Tanpa musik, pamaliatn tidak dapat menari. Kesalahan musik yang dimainkan dapat mengakibatkan pamaliatn jatuh pingsan atau kesurupan sambil meracau tidak karuan dan terlihat seperti orang marah. Hal ini membuktikan bahwa tari Baliatn hanya dapat berjalan kalau ada musik yang mengiringinya. Sentuhan musik dapat memberikan suatu stimulus kepada seseorang untuk melakukan sesuatu, selanjutnya fisik (tubuh) merespon karena adanya sentuhan dengan musik tersebut.

f). Ka’ Jubata Masak Mayar Niat
Prosesi ini menggambarkan rasa syukur atas kehidupan yang lebih baik, yang telah dikaruniakan Jubata. Pada prosesi ini dimainkan irama Jubata Masak atau Jubata Babulakng yang melambangkan pembayaran niat dengan segala pengagungan dan penghormatan kepada Jubata. Fungsinya musik pada prosesi ini sama dengan fungsi musik yang dimainkan pada prosesi Jubata Masak, namun tujuannya untuk membayar niat keluarga yang mengadakan upacara tersebut.

g) Parimain Bawakng
Prosesi ini menggambarkan sesaji yang dipersembahkan telah diterima. Pamaliatn memberitakan segala kegembiraan yang akan didapatkan oleh orang yang Mamayar Niat tadi. Prosesi ini diiringi irama musik Bawakng Lajakng yang berfungsi sebagai sarana pengekspresian emosi (kegembiraan), sesuai dengan musik yang dimainkan secara cepat dan bersemangat.
Musik dayak Kanayatn dimainkan dengan tujuan untuk pengungkapan ekspresi religius. Ia merupakan pengejawantahan rasa dari si pelaku kesenian kepada publik. Pada tahap ini musik berposisi sebagai sarana komunikasi, yaitu mengkomunikasikan ekspresi emosional atau apa yang dirasakan oleh pelaku upacara. Sepintas fungsi musik hampir sama pada prosesi sebelumnya, namun di sini musik lebih menggambarkan suasana yang dirasakan oleh pelaku upacara sebagai lambang suasana gembira atas diterimanya sesaji dan upacara yang dilaksanakan.
Ekspresi seni menawarkan nilai keindahan yang keistimewaan seninya justru terletak pada ekspresifitas, sehingga dapat memperhalus ciri komunikasi menjadi suatu persentuhan rasa yang kental. Emosi yang diekspresikan dapat menularkan kesan tentang sesuatu yang dirasakan kepada publik (I Komang Sudirga: 2005, hal. 89). Oleh karena itu tidak jarang suatu prosesi upacara dirasakan sakral dan mengerikan, namun tidak jarang dirasakan sebagai suatu yang menggembirakan.

h) Mulangkatn Parimain
Selanjutnya adalah prosesi pemulangan roh halus yang merasuki Pamaliatn dengan tarian dan musik Bawakng Samoko. Masyarakat percaya bahwa makhluk halus yang diundang dalam upacara tidak mau pulang kalau tidak diantar dengan musik dan tari-tarian (Asok Ala:22 April 2006). Oleh karena itu ia harus diantar pulang dengan iringan musik dan tari-tarian sebagai lambang penghormatan. Disamping itu musik dan vokal mantra yang dibawakan pada prosesi ini dipercaya mengandung kekuatan untuk mengusir makhluk halus yang bersifat jahat, sehingga tidak mengganggu kehidupan manusia sesudahnya.

i) Naki Ka’ Bawakng
Prosesi selanjutnya adalah perjalanan ke gunung Bawakng untuk menyampaikan terima kasih kepada Jubata atas perlindungan dan keselamatan yang telah diberikan selama upacara. Pada prosesi ini ditabuh irama Bawakng Lajakng sebagai penggambaran perjalanan religius pamaliatn menuju gunung Bawakng. Pada prosesi ini fungsi musik mengarah kepada penggambaran simbolis, yaitu untuk menggambarkan sebuah perjalanan suci (ke gunung Bawakng) menghadap kepada Jubata sebagai tujuan akhir perjalanan dalam kehidupan masyarakat dayak Kanayatn.

j) Jubata Pulakng
Prosesi ini adalah prosesi akhir dari upacara yang dilakukan malam kedua. Irama yang ditabuh adalah irama musik Jubata Pulakng dengan maksud untuk mengantar Jubata dengan tabuhan yang indah dan agung sebagai tanda terima kasih dan penghormatan kepadaNYA. Fungsinya sama dengan fungsi musik yang dimainkan pada prosesi Jubata Pulakng malam pertama.

Silahkan baca sambungan artikel ini pada artikel Musik Dayak Kanayatn Dalam Upacara Baliatn Nyande 3

Kepustakaan:
  1. The Liang Gie, Filsafat Keindahan (Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna, 2004)
  2. Shin Nakagawa, Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000)
  3. I Komang Sudirga, Cakepung: Ansambel Vokal Bali (Yogyakarta: Kalika Press, 2005)
  4. Wawancara langsung dengan Asok Ala, Seniman, 22 April 2006, Dsn. Saleh Bakabat, Ds. Aur Sampuk, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar