Skip to main content

follow us

Sebuah seni pertunjukan dapat dianalisis seperti halnya sebuah teks dalam ilmu linguistik. Akan tetapi pengertian teks dalam seni pertujukan sangat berbeda dengan pengertian teks dalam bahasa. Seni pertunjukan merupakan entitas yang multilapis. Ia merupakan sebuah diskursif kompleks yang merupakan jalinan dari beberapa elemen-elemen ekspresif dan diorganisasi menjadi sebuah entitas.

Kajian tekstual dalam antropologi sering pula disebut analisis hermeneutik, secara garis besar dibedakan menjadi analisis simbolik dan analisis secara struktural. Kedua kajian ini pada dasarnya menafsirkan karya seni sebagai teks yang dapat dibaca. Hanya saja dalam strukturalisme penafsiran dilakukan setelah suatu karya seni terlebih dahulu dianalisis secara struktural, sedangkan dalam analisis simbolik hal semacam itu tidak dilakukan (Marco De Marinis dalam I Komang Sudirga: 2005, hal. 147).

Sebuah teks adalah suatu yang harus dibaca dan ditafsirkan. Demikian juga halnya dengan musik Dayak Kanayatn sebagai salah satu karya seni yang harus dibaca dan ditafsirkan, layaknya sebuah teks. Irama musik dayak Kanayatn sebagai sebuah bentuk ungkapan seni tradisi pada dasarnya mengandung unsur-unsur budaya musik, unsur tari, dan unsur pemujaan yang bersifat multilapis. Oleh karena itu diperlukan konsep-konsep pemikiran yang dibantu dengan pendekatan multidisiplin. Irama musik tersebut terlebih dahulu dideskripsikan, ditranskripsikan, layaknya sebuah teks, kemudian dianalisis secara struktural, selanjutnya dilakukan penafsiran dari berbagai elemen-elemen pembentuknya, termasuk di dalamnya kalsifikasi dan fungsi instrumen, serta teknik memainkan musik tersebut (Ibid., hal. 148).

Tradisi musik musik dayak Kanayatn memiliki tujuh jenis instrumen. Dari tujuh instrumen ini hanya beberapa yang masih digunakan dalam kesenian musik dayak Kanayatn. Pemakaiannya menyesuaikan konteks pada acara apa musik tersebut dimainkan. Misalnya dalam ansambel kesenian Jonggan, maka digunakan Solekng yang berfungsi sebagai pemangku irama pada bagian intro dan akhir motif tabuhan, sedangkan dalam upacara tidak menggunakan Solekng. Adapun jenis instrumen yang digunakan itu adalah sebagai berikut.

1. Dau
Dau atau Amadakng adalah alat musik yang terbuat dari logam yang bentuknya menyerupai Bonang dalam Gamelan Jawa. Instrumen ini terdiri dari delapan buah instrumen yang ditempatkan dalam satu rancakan memanjang. Rancakannya dibuat persegi empat dengan penyangga dari tali di bagian bawah. Keseluruhan instrumen ini mempunyai ukuran hampir sama antara satu dengan lainnya, yaitu diameter lingkaran atas sekitar 25 cm-28 cm, diameter lingkaran bawah sekitar 26 cm-27 cm, dan diameter lingkaran Bujal (pencon) sekitar 3 cm-4 cm.

Instrumen Dau dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu instrumen yang membawakan Balungan (inti melodi) dan instrumen yang mengisi melodi (Sindoesawarno dalam Sumarsam: 2002, hal. 13). Instrumen pembawa melodi pokok dapat dilihat pada permainan Dau Wenya, sedangkan variasi ritme dapat dilihat dari permainan Dau Naknya. Dua permainan ini terlihat saling mengisi untuk memberi ritme tertentu yang harus disesuaikan oleh permainan instrumen lainnya.

Dau dimainkan dua orang, yaitu pemain Dau we’nya (Dau satu) berada di sebelah kanan yang tugasnya memainkan nada-nada rendah dan pemegang tabuhan dasar, sedangkan pemain Dau Naknya (Dau dua) berada di sebelah kiri yang bertugas memainkan nada-nada tinggi untuk memberi variasi permainan Dau We’nya.

Cara memainkan instrumen Dau ditabuh dengan dua tangan menggunakan stik yang terbuat dari kayu berukuran panjang 25 cm-30 cm dan berdiameter sekitar 2 cm sampai 2,5 cm. Dau we’nya memainkan nada-nada pokok lagu dan memberikan penekanan pada nada tertentu dalam sebuah lagu, sedangkan Dau naknya memberi variasi permainan untuk mengambil nada-nada yang tidak terdapat pada Dau wenya, sehingga membentuk akor tertentu untuk mengiringi lagu yang dibawakan.

Setiap anak Dau mempunyai nama sendiri-sendiri. Adapun nama dan nada masing-masing anak Dau adalah sebagai berikut.
  1. Dau terkecil disebut Panangkekng dengan nada 1 (do) satu oktav lebih tinggi dari nada dasar yang ditempatkan di sebelah kiri rancakan
  2. Panuna’ bernada 6 (la) ditempatkan di sebelah Panangkekng
  3. Panyantel bernada 5 (sol) ditempat di sebelah kanan Panuna’
  4. Panimpak bernada 3 (mi) ditempatkan di sebelah kanan Panyantel
  5. Panarodot bernada 2 (re) ditempatkan di sebelah kanan Panimpak
  6. Paninga’ bernada 1 (do standard) ditempatkan di sebelah kanan Panimpak
  7. Panodot bernada 6 (la) di bawah nada dasar dan ditempatkan di sebelah kanan Paninga’
  8. Pangantor bernada 5 (sol) yang ditempatkan di sebelah kanan Panodot (Nico Andasputra dan Vincentius Julipin, ed.: 1997, hal. 88).

2. Gadobokng (Gendang)
Gadobokng termasuk jenis instrumen membranophone, yaitu golongan alat musik yang sumber bunyinya berasal dari kulit atau selaput tipis yang diregangkan. Bagian tengah instrumen diberi lubang untuk sirkulasi udara dan resonansi bunyi. Kulit yang digunakan biasanya adalah kulit sapi, kulit kambing, dan kulit kijang muda agar suara yang dihasilkan nyaring. Instrumen ini mempunyai karakter agung, sehingga cocok digunakan dalam ansambel musik dayak Kanayatn dibanding dengan instrumen lainnya.

Cara memainkan instrumen Gadobokng ditabuh dengan dua tangan sambil dipeluk di samping kiri atau kanan pemainnya. Bila instrumen ini ditempatkan disebelah kiri, maka tangan sebelah kanan yang paling banyak berperan, begitu pula sebaliknya. Fungsinya sebagai pemangku irama atau memberi ketukan pada lagu yang dimainkan.

Tradisi musik dayak Kanayatn mempunyai beberapa instrumen gendang. Penggunaannya menyesuaikan konteks dimana musik tersebut dimainkan, apakah dalam kesenian Jonggan atau dalam beberapa upacara. Kebanyakan upacara besar menggunakan Gadobokng sebagai gendang, hanya upacara Totokng yang menggunakan Kubeh (gendang besar) agar kalau gendang tersebut dipukul suaranya dapat terdengar sampai jauh sebagai tanda bahwa upacara Totokng sedang dilaksanakan. Adapun beberapa jenis gendang yang digunakan dalam tradisi dayak Kanayatn adalah sebagai berikut.
  1. Tuma’ ialah sejenis gendang dengan panjang 112 cm dan diameter 20 cm. Cara memainkannya ditabuh dua tangan dengan posisi miring dan ditempatkan di sebelah kiri atau kanan badan pemain.
  2. Gadobokng/Katubong adalah kendang besar pendek yang terbuat dari kayu nangka Bagian tengahnya berlubang dan dilapisi kulit (kulit sapi atau kambing) sebagai sumber bunyi. Gendang jenis ini dimainkan dengan cara dipukul atau ditabuh dengan tangan. Katubong dimainkan oleh satu orang dan berukuran panjang sekitar 55 cm dengan diameter 35 cm.
  3. Kubeh yaitu gendang panjang kurang lebih 200 cm, serta berdiamter 40 cm.
  4. Ganakng adalah sepasang alat musik gendang yang dimainkan oleh dua orang yaitu We’nya dan Naknya. Panjang alat musik ini berkisar 50 cm dan berdiameter 20 cm. Kedua ujungnya ditutup dengan dua membran yang biasanya berasal dari kulit kambing atau kijang.
3. Agukng (Gong)
Alat musik yang paling banyak ditemukan di Kalimantan adalah Gong. Alat ini ditemui hampir di seluruh kelompok dayak dan dipercaya diturunkan langsung oleh para dewa dari kayangan untuk dimainkan dalam upacara. Instrumen ini dipercaya dapat mengusir roh jahat yang mengganggu saat upacara. Agukng juga dianggap sebagai lambang kebangsawanan pemiliknya. Orang yang memiliki Gong dianggap sebagai orang kaya atau bangsawan, karena tidak semua orang memilikinya, kecuali kaum bangsawan dan orang berada. Gong terdiri dari beberapa jenis dan ukuran, serta dipakai dalam jumlah yang bervariasi (Al Yan Sukanda: dalam Paulus Florus: 2005, hal. 115). Dikalangan masyarakat dayak paling tidak ditemukan lima jenis gong, yaitu:
  1. Tipe Garantung (Gong Besar), yaitu gong berukuran besar, sisi rendah, nada rendah, karakter suara lembut dan beralunan panjang.
  2. Tipe Tawak (Gong Panggil), yaitu Gong berukuran agak kecil yang sisi dan pencunya agak tinggi, suaranya tegas dan beralunan pendek. Gong ini biasanya digunakan untuk alat komunikasi atau pemberitahuan apabila ada kematian, bencana, tamu terhormat, pesta, upacara, dan lain sebagainya.
  3. Tipe Bondi, yaitu Gong yang sisi dan pencunya rendah. Permukaan sekitar pencu kebanyakan tidak ada lekukan melingkar. Gong ini hampir mirip dengan tawak namun bentuknya sedikit lebih kecil. Suaranya lembut dan merdu. Biasanya gong tipe ini disebut Bobondi, Bendai, Bandai, atau Canang.
  4. Tipe Boring, yaitu Gong yang permukaannya datar. Suaranya bergetar deper (nyaring). Gong ini biasanya disebut juga dengan nama Boring-boring, Gentarai, dan Puum.
  5. Tipe Kelintang (Gong-gong kecil horisontal), yaitu satuan dari beberapa Gong kecil yang berjumlahnya 5 sampai 9 instrumen dan disusun secara horizontal pada sebuah rancakan berdiri. Suaranya tinggi dan nyaring. Instrumen ini berfungsi sebagai pembawa melodi. Nama lain alat ini adalah Engkeromong, Keremong, Kangkanong, dan Klentang.
Selain alat musik perkusi dari logam seperti di atas, ditemukan juga alat musik jenis lain, seperti Rahup (simbal kecil) dan Saron. Bentuk Saron menyerupai instrumen Tengga’ yang terbuat dari kayu, sehingga saron terkadang disebut pula dengan Tengga’ oleh masyarakat setempat.
Gong termasuk jenis instrumen perkusi yang terbuat dari logam. Instrumen ini digunakan untuk menamakan instrumen perunggu dengan pencon di tengahnya dengan berbagai ukuran (R.M. Soedarsono: 2003, hal. 126). Cara memainkannya ditabuh dengan menggunakan stik kayu yang pada bagian ujungnya dililit karet. Instrumen ini terbagai menjadi 8 buah instrumen, yaitu: (1) Kakanong; (2) Kampo atau Babaneh; (3) Kanayatn; (4) Katukekng; (5) Katukong; (6) Katuku’; (7) Agukng; dan (8) Wayakng.
Diantara delapan instrumen tersebut, kebanyakan hanya tiga jenis Agukng yang digunakan, yaitu (1) Agukng berdiameter 53 cm untuk lingkar depan, diameter 47 cm untuk lingkar belakang, dan diameter 12,5 cm untuk lingkar Bujal (pencon); (2) Katuku berdiameter 42,5 cm lingkar depan, diameter 49,5 cm lingkar belakang, dan diameter 12 cm lingkar Bujal (pencon); (3) Katukeng berdiameter 39,5 cm lingkar depan, diameter 35 cm lingkar belakang, dan diameter 9,5 cm lingkar Bujal atau pencon (Ukuran: 30 April 2006). Nada yang dihasilkan instrumen Agukng adalah nada 5 (sol) rendah, instrumen Katuku bernada 1 (do), dan instrumen Katukeng bernada 3 (mi). Instrumen ini merupakan instrumen kolotomis atau sebagai penyekat nada yang dimainkan pada tiap birama.

4. Solekng
Solekng merupakan alat musik tiup berlubang enam yang digunakan dengan cara ditiup. Solekng termasuk instrumen jenis Aerophone atau golongan alat musik yang sumber bunyinya disebabkan oleh sentuhan udara. Aerophone adalah udara atau satuan udara yang berada dalam alat musik sebagai penyebab bunyi (Pono Banoe: 1984, hal.13). Solekng tidak digunakan dalam upacara, tetapi digunakan dalam ansambel Jonggan. Cara memainkannya ditiup sambil menempelkan bibir pada lubang tiup, sedang jari-jari kedua tangan digunakan untuk membuka dan menutup lubang nada.
Solekng atau suling dalam tradisi musik dayak Kanayatn dibagai menjadi dua jenis, yaitu Solekng Maniamas dan Solekng Sabak. Solekng Maniamas adalah suling yang buku’ (ruas) atau bagian pangkalnya diraut dan diperkecil untuk membuat lubang tiup. Bagian pangkal diberi bambu tipis melingkar sesuai dengan lingkar pangkal Solekng dan besar lubang tiup. Solekng jenis ini sering disebut dengan Solekng vertikal.
Solekng Sabak adalah sebuah suling bambu yang pada pangkal dan ujungnya tidak memiliki buku’ seperti yang terdapat pada suling Maniamas. Lubang tiup instrumen ini terletak dibagian belakang dekat pangkal, sejajar dengan lubang nada. Bagian dalam belakang diberi sumpal (penyumbat) yang biasanya terbuat dari karet bundar untuk menahan sirkulasi angin agar tidak keluar dan menjadi bunyi. Suling Sabak atau suling horizontal berukuran panjang 40 cm sampai 45 cm dan berdiameter 2,5 cm sampai 3 cm. Suling ini berfungsi sebagai pembawa melodi pokok lagu pada bagian intro, interlude, dan setiap bagian akhir dari setiap kalimat lagu secara pengulangan (coda). Instrumen Solekng dapat dibawakan sebagai ansambel melodi tunggal tanpa iringan vokal, namun sekarang ansambel jenis ini jarang sekali dimainkan dan hampir tidak ditemukan lagi, kecuali dalam lomba kesenian musik tradisional.

Kepustakaan:
  1. I Komang Sudirga, Cakepung: Ansambel Vokal Bali (Yogyakarta: Kalika, 2005)
  2. Sindoesawarno, “Ilmu Karawitan, Jilid 1”, seperti dikutip Sumarsam dalam bukunya Hayatan Gamelan (Surakarta: STSI Press Surakarta, 2002)
  3. Nico Andasputra dan Vincentius Julipin, ed., Mencermati dayak Kanayatn (Pontianak: Institute of dayakologi Research and Development, 1997)
  4. Paulus Florus, ed., Kebudayaan dayak: Aktualisasi dan Transformasi (Pontianak: Institut dayakologi, Cetakan kedua, 2005)
  5. R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003)
  6. Ukuruan ini berdasarkan ukuran Gong yang digunakan saat merekam irama musik dayak Kanayatn pada tanggal 30 April 2006 di rumah Alimin Ala Dsn. Saleh Bakabat, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab. Landak, Kalimantan Barat. 
  7. Pono Banoe, Pengantar Pengetahuan Alat Musik (Jakarta: CV. Baru, 1984)

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar