Skip to main content

follow us

Konsep Tiga Dunia Dalam Alat Musik Dayak Kanayatn - Musik Dayak Kanayatn erat hubungannya dengan budaya masyarakat. Ia merupakan penggambaran kehidupan sosial, budaya, dan adat istiadat masyarakat dayak Kanayatn. Ketiga penggambaran itu didominasi oleh konsep religi yang menekankan pada hubungan religius tiga dunia, yaitu Dunia Bawah, Dunia Tengah, dan Dunia Atas. Tiga dunia ini dapat diartikan dengan tiga lingkaran yang terdapat pada seluruh instrumen yang digunakan dalam ansambel musik dayak Kanayatn. Tiga lingkaran kehidupan itu merupakan transformasi kehidupan alam nyata dan alam transenden, dimana manusia menyatakan keberadaan sesuatu yang gaib itu untuk menunjang eksistensi kehidupannya di dunia nyata. Dari sini dapat diketahui, pada dasarnya pemikiran masyarakat yang bersahaja, seperti masyarakat dayak Kanayatn mengakui keberadaan dunia gaib disamping kehidupannya di alam nyata. Sesuatu hal yang gaib itu merupakan sesuatu yang “ada” dan dipercaya dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Hal-hal inilah yang dilambangkan dengan instrumen, seperti Dau, Agukng, Gadobokng, dan Solekng.
Pada dasarnya sistem kepercayaan asli Indonesia lama bersumber pada dualisme semua hal-ihwal, baik yang metakosmos, makrokosmos, dan mikrokosmos. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia gaib dan merupakan realitas dikotomi alam diwujudkan dalam bentuk spiritual, yaitu merealisasikan bentuk yang “ada” secara abstrak dalam pemikiran maupun batin manusia, dan mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku, seperti sembahyang Ka’ Panyugu, tarian, musik, mantra, upacara dan lain sebagainya. Selain itu semua yang dipercaya “ada”, seperti dunia gaib dilambangkan dalam suatu bentuk khusus, yaitu dalam bentuk material untuk menggambarkan sesuatu yang “ada” secara nyata di dunia manusia. Lambang material ini dapat berupa sesaji, instrumen, jimat dan properti lainnya yang dipercaya dapat menghubungkan manusia dengan sesuatu yang “ada” tersebut.
Semua yang dipercaya “ada” terdiri dari dua kembaran oposisional. Segala hal memiliki pasangan oposisinya, sehingga menimbulkan konflik dari yang satu terhadap lainnya. Kenyataan ini tidak dapat dibiarkan, karena yang satu dapat mengalahkan yang lain dan dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia di alam nyata. Konflik dua oposisi ini pada dasarnya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tetapi selalu berada pada posisi bertentangan. Oleh karena itu harus dicarikan pemecahan harmoni untuk membiarkan keduanya tetap berada dalam keselarasan (Kutipan: Jakob Sumardjo). Salah satu cara mewujudkan keharmonisan tersebut adalah melakukan hubungan dengan dunia gaib melalui upacara yang di dalamnya terdapat berbagai simbol. Simbol-simbol inilah yang diditransformasikan pada alat musik atau tingkah laku dalam upacara.
Alam pemikiran masyarakat dayak Kanayatn menganggap bahwa benda sebagai simbol itu tidak harus mempunyai hubungan dengan empiri, tetapi langsung berhubungan dengan arti idea dan spiritualnya. Artinya lambang-lambang geometrik (berhubungan dengan alam) dan mimetik (tiruan, seperti pantak) secara material tidak harus dihubungkan dengan arti empiriknya atau bentuknya secara harafiah. Hal ini yang menjadi penyebab banyak ragam hias atau ornamen dan bentuk lambang material umumnya dipakai sebagai lambang agama asli dalam masyarakat dayak Kanayatn. 
Banyaknya bentuk penyimbolan secara material tidak menutup kemungkinan meniru bentuk-bentuk empirik, seperti bentuk manusia, gambar binatang, bahkan dalam bentuk alat musik. Lambang-lambang itu adalah presentasi dari yang dilambangkan atau untuk mengungkap makna dari yang dilambangkan. Oleh karena itu bentuk instrumen itu tidak hanya dibuat tanpa maksud dan tujuan atau tidak terlepas dari apa yang dilambangkan, baik mengenai kehidupan sosial, ekonomi, adat istiadat, dan kepercayaan. Misalnya lambang salib yang melambangkan kematian kristus di kayu salib. Hanya sampai disitulah arti lambang dari perspektif dunia modern. Berbeda dengan pemikiran masyarakat dayak Kanayatn, salib adalah representasi kristus itu sendiri, artinya ia betul-betul ada dari yang “ada” untuk membimbing kehidupan manusia menuju kebaikan dan kegembiraan, serta rela mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Semua itu Ia lakukan bukan tanpa sebab, melainkan atas dasar kecintaan mendalam pada umatnya. Contoh lainnya seperti lambang air yang identik dengan kehidupan dalam pemikiran manusia modern, namun dalam masyarakat dayak Kanayatn air merupakan sesuatu yang suci dan dapat menyucikan. Kesucian ini diperlukan untuk berhubungan dengan Jubata, sehingga air bukan saja sebagai lambang kehidupan, namun sebagai presentasi religius tentang kesucian lahir batin manusia dan kehidupannya.
Lambang-lambang meterial dalam tradisi musikal dayak Kanayatn dapat dilihat dari bentuk instrumen yang digunakan seperti Dau, Agukng, Gadobokng, dan Solekng. Kesemuanya itu memiliki kesamaan dalam satu bentuk global, yaitu lingkaran dan lubang. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa lingkaran tersebut merupakan lambang tiga dunia dalam kepercayaan lama atau agama nenek moyang. Ia merupakan representasi religius dari tiga tahap kehidupan, yaitu lahir, menjalani hidup, dan mati. Sama halnya dengan kebulatan hubungan antara ritme, melodi, dan harmoni dalam irama musik dayak Kanayatn.
Lingkaran pertama yang terdapat pada instrumen Dau terletak pada Bujal sebagai lambang Dunia Atas. Penggambaran Dunia Atas ini sesuai dengan posisi bujal yang menempati posisi paling atas atau tempat menabuh intrumen tersebut. Lingkaran kedua terletak pada bagian tengah (dibawah bujal) yang melambangkan eksistensi Dunia Tengah atau dunia manusia. Lingkaran terakhir terdapat dibagian bawah instrumen sebagai lambang Dunia Bawah.

tiga dunia dalam dau

Konsep tiga dunia dalam kepercayaan masyarakat dayak Kanayatn juga terdapat pada alam nyata. Tanah dan binatang yang hidup di air merupakan realitas Dunia Bawah. Manusia, binatang yang hidup di darat, dan tumbuh-tumbuhan merupakan realitas Dunia Tengah, sedangkan realitas Dunia Atas dilambangkan dengan burung enggang dan burung-burung lainnya. Keterkaiatan ketiga dunia tersebut memerlukan sebuah penghubung, baik dalam bentuk abstrak maupun bentuk nyata, seperti perbuatan (usaha) dan peralatan untuk mendukung usaha tersebut. Sebagai contoh manusia bercocok tanam, maka ia harus mengolah tanah untuk ditanami. Manusia juga memerlukan peralatan, salah satunya adalah alat tugal untuk membuat lubang yang akan disisi dengan bulir-bulit padi. Setelah proses bercocok tanam, maka ada hasil untuk dimakan. Makanan inilah yang dapat memuaskan rasa lapar manusia. Begitu pula dengan intrumen yang dapat diartikan sebagai tanah yang memerlukan usaha untuk menghasilkan musik (Maniamas Miden Sood: 21 April 2006). Usaha itu berupa tingkah laku musikal, seperti menabuh dengan teknik-teknik tertentu. Selanjutnya manusia memerlukan alat tabuh untuk menunjang pekerjaannya dalam mengolah musik. Alat tabuh itu dipukulkan pada instrumen agar dapat menghasilkan nada-nada. Setelah itu barulah tercipta sebuah musik yang dapat memuaskan dahaga batin manusia terhadap tuntutan keindahan. Bunyi-bunyi ini harus tertata dengan rapi agar enak dan indah didengar, seperti keselarasan bercocok tanam dan tingkah laku religius yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, agar apa yang dikerjakan mendapat hasil yang baik.

Keselarasan antara usaha dan tingkah laku religius merupakan dua hal penting dalam kehidupan masyarakat dayak Kanayatn. Ia merupakan sebuah tatanan kehidupan yang harus dijalankan oleh masyarakatnya. Artinya setiap tingkah laku orang dayak Kanayatn harus disertai dengan keluhuran budi sebagai cermin ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti kata pepatah Bacuramin Ka’ Saruga yang artinya Bercermin kepada Surga.

simbol dalam dau

Eksistensi tiga dunia yang digambarkan instrumen Agukng terletak pada jumlah instrumen. Kebanyakan instrumen yang digunakan dalam penyajian musik dayak Kanayatn berjumlah tiga buah. Jumlah ini sesuai dengan konsep tiga dunia dalam kepercayaan masyarakat dayak Kanayatn. Sebut saja tiga instrumen itu adalah Agukng, Kanayatn atau Katuku, dan Katukeng. Agukng sebagai instrumen yang karakter suaranya agung dilambangkan dengan Dunia Atas. Kanayatn menempati posisi paling tengah dianggap sebagai lambang Dunia Tengah, sedangkan Katukeng memiliki suara dan bentuk yang paling kecil diantara ketiganya dilambangkan sebagai Dunia Bawah.

Agukng memiliki karakter suara paling agung. Ia berfungsi memberi ketukan dasar atau penentu ketukan berat. Ketukan berat ini menjadi patokan jatuhnya nada dalam satu ruang birama. Ia memberi sekat terhadap permainan instrumen lain, sehingga dapat diketahui posisi jatuh nada pertama sebagai ketukan berat (nada dong). Begitu pula dalam kehidupan, Instrumen ini dapat disamakan dengan ajaran agama yang harus diikuti, diturut, dan dihayati sebagai pedoman hidup yang dijalani. Ajaran agama itu mengajarkan kepada manusia untuk berbakti kepada Tuhan, sebagai sesuatu yang mengatur dan menguasai kehidupan di jagad raya, dan sebagai tujuan terakhir dari perjalanan religius masyarakat dayak Kanayatn. Dari sinilah hadir Dunia Atas pada kehidupan nyata sebagai penunjang keberadaan manusia dalam menjalani kehidupannya.

Instrumen Katuku merupakan representasi kehidupan manusia di dunia. Ia bukan hanya memiliki arti kehidupan secara harafiah, yaitu kerja, istirahat, dan makan, namun ia merupakan lambang dari tingkah laku yang menyertakan pemikiran dan perasaan untuk mencerna segala yang dilihat dan dirasakan. Manusia berpikir dan menangkap fenomena-fenomena alam yang memerlukan sebuah penghayatan dan usaha yang pada akhirnya harus ia pertanggungjawabkan kepada Jubata dan manusia lainnya.

Katukeng merupakan lambang Dunia Bawah sebagai refleksi kehidupan makhluk halus. Keberadaan alam ini tidak bisa terlepas dengan kehidupan manusia, karena pada dasarnya antara manusia dengan makhluk halus merupakan satu asal atau keturunan yang sama. Hal ini berhubungan dengan cerita Ne’ Baruakng Kulub sebagai nenek moyang orang dayak Kanayatn dan cerita turunnya padi ke dunia (Maniamas Miden Sood: 18 April 2006). Dalam cerita itu terdapat sebuah dunia transenden yang keberadaannya digunakan untuk mengingatkan kembali tentang asal mula, kejadian suci (ritual Baliatn), dan adat masyarakat dayak Bukit (Dayak Kanayatn). Bukti hubungan tersebut dapat dilihat dalam upacara ritual perdukunan masyarakat dayak Kanayatn, dimana dukun dalam upacara tersebut mendatangkan makhluk halus dari Dunia Bawah untuk membantunya melakukan pengobatan. Refleksi hubungan inilah yang diungkapkan kembali melalui instrumen Katukeng.

tiga dunia dalam agukng

Simbol adat dapat dilihat pada instrumen Gadobokng. Simbol ini dinyatakan dengan posisi Gadobokng sebagai pemangku irama atau pemberi ketukan. Setiap permainan harus berpatokan pada ritme permainan Gadobokng agar tercipta keharmonisan jalinan nada-nada yang dihasilkan oleh permainan masing-masing instrumen. Begitu pula dengan kehidupan, ia harus berpatokan pada adat agar tercipta keselarasan hidup dalam bermasyarakat.

Lingkaran atas Gadobokng atau lingkaran pada membran sebagai simbol Dunia Atas merupakan representasi adat. Ia mengeluarkan bunyi sebagai simbol peraturan yang harus diturut. Lingkaran tengah (resonansi) sebagai simbol Dunia Tengah merupakan transformasi kehidupan manusia yang harus selaras dengan adat, sebagaimana keselarasan antara bunyi membran yang dipukul terhadap bunyi yang dikandung oleh resonansi, seperti kata pepatah hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Lingkar bawah (lingkar dasar) sebagai simbol Dunia Bawah adalah norma pergaulan sebagai dasar kehidupan bermasyarakat. Dari sinilah timbul sikap saling menghormati, gotong royong, dan ikatan persaudaraan yang diatur dalam hukum. Keberadaannya difungsikan sebagai penunjang hubungan sosial, sehingga kehidupan bermasyarakat menjadi tenteram dan damai.

tiga dunia dalam gadobokng

Dinamika kehidupan masyarakat dayak Kanayatn tercermin dalam Solekng yang menggambarkan alur kehidupan masyarakat dayak Kanayatn yang bersahaja dan mau menerima apa adanya. Irama Solekng yang mengalun indah merupakan representasi keselarasan hidup masyarakat yang berpangkal dari rasa adil dan saling menghargai. Rasa adil dan saling menghargai ini terbawa sampai orang dayak Kanayatn hidup di luar lingkungan mereka atau hidup dengan orang lain. Mereka selalu bersyukur atas apa yang mereka dapat dan selalu menghormati segala bentuk pemberian. Seperti kata pepatah Adil Ka’ Talino yang artinya adil kepada manusia.

simbol dalam nada musik dayak kanayatn

Alunan nada-nada Solekng merupakan penggambaran kehidupan yang selaras dengan ajaran Tuhan. Keselarasan hidup dengan nilai-nilai religi ini diaplikasikan dalam setiap napas kehidupan, baik sosial maupun ekonomi. Seperti kata pepatah Basengat Ka’ Jubata yang artinya Bernapas Kepada Jubata (Tuhan).

simbol dalam solekng

Setelah mengkaji instrumen dari segi filosifis, diketahui bahwa seluruh instrumen tersebut merupakan realitas tiga dunia, dimana realitas Dunia Atas dilambangkan dengan instrumen Agukng, realitas Dunia Tengah dilambangkan dengan Dau, dan realitas Dunia Bawah dilambangkan dengan Gadobokng. Dunia atas adalah tatanan nilai religius atau sendi ke-Tuhan-an yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Pedoman ini dinyatakan dalam hukum adat untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dan menjadi pondasi tingkah laku dalam kehidupan sosial, yang dilambangkan sebagai Dunia Bawah. Realitas Dunia Tengah merupakan merupakan kehidupan manusia itu sendiri yang harus selaras dengan alam dan lingkungannya dengan berpatokan pada sendi agama dan adat. Pada dunia inilah eksistensi kesatuan itu diwujudkan. Penggambaran keseluruhan hidup itu dapat dikaji dengan melihat jumlah keseluruhan lubang yang terdapat pada keempat instrumen di atas. Gabungan dari 8 lubang instrumen Dau, 7 lubang Solekng, 3 lubang Agukng, dan 1 lubang Gadobokng semuanya berjumlah 19 lubang, ditambah satu lubang mulut untuk vokal. Kemudian 20 lubang itu dilengkapi dengan 1 bunyi sebagai hasil dari kesatuan tingkah laku musikal dari keempat instrumen tersebut. Jumlah 21 ini sama dengan jumlah suku kata yang terdapat pada pepatah (prinsip hidup) orang dayak Kanayatn, yaitu Adil Ka’ Talino, Basengat Ka’ Jubata, Bacuramin Ka’ Saruga.

Bunyi merupakan hasil dari tingkah laku musikal manusia, seperti menabuh atau memainkan alat musik dan menyanyi. Tanpa ada tingkah laku manusia, instrumen belum berarti apa-apa atau belum menghasilkan musik. Gabungan dari tingkah laku musikal dan instrumen inilah yang menghasilkan musik, sehingga musik bukan hanya berarti hubungan nada-nada yang teratur dan membentuk suatu pola tertentu, melainkan sebagai presentasi adat dan religi masyarakatnya. Oleh karena itu bunyi yang dihasilkan sesuai dengan budaya yang melingkupinya. Hubungan antara instrumen, tingkah laku musikal, dan bunyi (musik) merupakan representasi filosifis konsep tiga dunia yang dirangkum dan dinyatakan dalam irama musik dayak Kanayatn.

struktur tiga dunia dalam musik dayak kanayatn

Kepustakaan
  1. Jakob Sumardjo, "Arkeologi Budaya Makanan dalam bingkai estetis sebuah musik layaknya sebuah bunyi atau nada-nada yang tersusun rapi dan indah".
  2. Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 21 April 2006, Dsn. Asong Pala, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip. 
  3. Wawancara dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 18 April 2006, Dsn. Asong Palah, Ds. Aur Sampung, Kec. Sengah Temila, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar