Malam Pertama
Ritual malam pertama adalah membersihkan berbagai macam penyakit yang diderita oleh keluarga atau orang yang mengadakan upacara, dan membersihkan rumah dari makhluk jahat yang sering mengganggu. Adapun urutan upacara yang dilaksanakan sebagai berikut.
a). Macik
Macik merupakan prosesi awal dalam upacara Baliatn. Prosesi ini ditandai Nyangahatn (pembacaan doa) sebagai pemberitahuan kepada roh halus, roh leluhur dan kepada Jubata agar mendapat restu dalam melakukan upacara. Nyangahatn wajib dilakukan dalam setiap memulai upacara. Ia merupakan doa pembuka setiap upacara, baik upacara besar maupun upacara kecil. Nyangahatn dilakukan untuk memberitahukan, memohon keselamatan, mengundang Jubata, roh leluhur, dan makhluk halus agar hadir dalam upacara. Prosesi ini tidak menggunakan musik untuk menjaga kekhusukan Pemaliatn saat membaca doa (Wawancara: 17 April 2006).
Nyangahatn biasanya dilakukan diruang tengah rumah atau tempat upacara. Sesaji yang digunakan adalah satu ekor ayam kampung hitam (jantan) yang sudah dimasak setengah matang, Baras Banyu (beras tujuh biji dicampur dengan minyak kelapa sedikit), kue cucur, baras poe (beras ketan) dan baras sunguh (beras biasa) yang ditempatkan dalam piring bertumpang, Topokng (kotak dan perlengkapan nginang atau nyepah ditambah dengan rokok dari daun nipah dan tembako), darah ayam, Roas Poe (ketan yang dimasak dalam bambu muda), Angkabakng, kembang Selasih dan semangkok air, duit logam, Corong (pelita) dan Pahar tempat meletakkan semua sesaji tersebut. Selain itu biasanya disediakan pula babi untuk sesaji utama.
b). Badoke
Prosesi ini dilakukan untuk mendatangkan kekuatan gaib dan memanggil roh halus yang tinggal di tempat-tempat angker, seperti di gunung-gunung yang tinggi, pohon-pohon besar, sumber air, batu besar, dan lain-lain (A.C. Kruyt: 1987, hal. 62-63). Mereka dipanggil melalui mantra yang dibacakan, sesaji atau dengan memberi makan dan minum (Budiono Herusatoto: 1991, hal. 138). Selain itu dibakarkan dupa, dan memainkan musik irama musik Bagu atau Samoko Batimakng untuk mengiringi pamaliatn menari dan membaca mantra. Pada prosesi ini Pamaliatn mengalami kesurupan yang bagi masyarakat setempat dipercaya sebagai proses dalam berhubungan dengan makhluk halus dan masuknya kekuatan gaib pada diri pamaliatn.
Irama Bagu merupakan lambang sungai Bagu yang mempunyai tujuh kelok dan riam. Masing-masing kelok dan riam itu mengeluarkan karakter suara berbeda. Ketujuh suara tersebut diaplikasikan ke dalam irama musik, sehingga irama Bagu dianggap replika bunyi dari ketujuh kelok dan riam tersebut (Wawancara: 13 April 2006). Irama musik ini dipercaya masyarakat setempat bisa mendatangkan kekuatan gaib. Kepercayaan ini sejalan dengan konsep agama asli masyarakat dayak Kanayatn yang berpusat pada kekuatan gaib dan dipercaya dapat berpengaruh kepada manusia. Kekuatan itu berasal dari zat halus dari benda-benda tertentu, seperti bagian tubuh manusia dan binatang. Manusia bisa mendapatkan zat halus untuk menambah kekuatan gaib dengan makan atau minum makanan tertentu, seperti meminum darah dan lain sebagainya (Despiarni: hal. 144). Selain itu penguasaan kekuatan gaib dapat dilakukan melaui medium lain seperti musik dan tari-tarian.
Manusia menguasai daya-daya gaib melalui “jalan tengah”, yaitu dengan jalan “yang tidak dikenal” melalui “yang dikenal” atau seperti melakukan sesuatu yang tidak umum melalui sesuatu yang umum (yang dikenal) (Jakob Sumardjo: 2002, hal. 13). Kalau manusia berpakaian dan menari dengan cara biasa, maka pamaliatn harus berpakaian tidak seperti umumnya dan menari disertai kesurupan. Begitu juga dalam upacara Baliatn Nyande, pamaliatn menggunakan kain sarung yang diselendangkan untuk mewakili pakaian wanita. Hal ini dilakukan untuk membuktikan ketidakbiasaan tersebut sekaligus untuk menghormati roh leluhur mereka, karena menurut kepercayaan masyarakat setempat pamaliatn yang pertama adalah seorang wanita, sekaligus sebagai nenek moyang dukun Liatn masyarakat dayak Kanayatn. Contoh lainnya adalah dengan memakai jimat-jimat dan memainkan musik Dayak Kanayatn.
Seandainya usaha memperoleh daya-daya gaib itu ditempuh dengan menggunakan ucapan atau kata- kata, maka kata-kata yang dipakai juga tidak umum. Kalau menggunakan nyanyian, maka nyanyian itu yang tidak biasa atau yang tidak boleh dinyanyikan sembarangan dan secara umum (Ibid., hal. 14). Contohnya seperti beberapa vokal mantra dalam upacara. Mantra-mantra tersebut jarang sekali dinyanyikan secara umum, kecuali dalam upacara.Seperti dikatakan sebelumnya bahwa musik terkait erat dengan upacara, sehingga secara langsung ia menjadi bagian dan mempunyai fungsi pengesahan bagi upacara itu sendiri. Tanpa musik upacara Liatn, Lenggang, Dendo, Naik Dango dan upacara besar lainnya tidak sah menurut adat. Ini sudah menjadi aturan sejak dahulu. Musik mentahbiskan upacara menjadi suatu bagian yang mempunyai arti khusus bagi masyarakat dan bagi upacara itu sendiri, sehingga segala sesuatu yang diwakili upacara menjadi tidak lengkap tanpa adanya musik. Artinya musik merupakan bagian dari upacara, sekaligus sarana pengesahan bagi upacara itu sendiri.
c) Siman
Siman artinya siuman atau pamaliatn sadar dari kesurupan. Pada prosesi ini pamaliatn memberitahukan penyebab penyakit yang diderita oleh si pasien, namun belum memberitahukan obatnya. Prosesi ini tidak menggunakan musik, karena bila musik ditabuh pamaliatn bisa kembali kesurupan (Wawancara: 13 April 2006).
d) Berayutn
Prosesi ini merupakan prosesi pemberitahuan sesaji yang akan dikorbankan kepada makhluk halus. Pada prosesi ini disebutkan hewan apa saja yang akan dikurbankan. Pada prosesi ini dimainkan irama musik Jubata Manta untuk mengiringi vokal mantra.
Musik sebagai sarana ritual dimainkan dengan maksud dan tujuan religius yang bersifat magis. Pelaksanaannya berhubungan dengan kepentingan pribadi atau peraturan adat yang mengharuskan musik tersebut dimainkan dalam upacara. Sebagai kepentingan pribadi, musik senantiasa dimainkan untuk mendatangkan roh dan kekuatan gaib agar mau membantu pamaliatn mengusir makhluk halus yang mengganggu si pasien. Disamping itu musik juga dimainkan dengan maksud menjemput makhluk halus untuk hadir dalam upacara, kemudian diadakan perjanjian dengan makhluk halus tersebut agar tidak mengganggu kehidupan manusia setelah itu.
Kedatangan makhluk halus dan roh leluhur ditandai dengan kesurupan salah satu pelaku upacara. Hal ini menandakan bahwa makhluk gaib berkenan hadir dan sebagai tanda keberhasilan upacara. Fenomena seperti ini berlaku pada semua upacara yang bersifat magis dan berhubungan dengan kepercayaan yang menekankan pada kekuatan gaib.e) Baramutn
Baramutn adalah prosesi pemberitahuan kepada makhluk halus bahwa sesaji hidup mau dipotong. Terlebih dahulu babi dimandikan dan didandani dengan rapi. Pamaliatn memberi bedak dan wewangian, kemudian bulu hewan itu disisir. Perlakuan ini dimaksudkan untuk menghormati Jubata dan roh halus yang akan diberikan persembahan untuk mengambil hati makhluk halus yang dipanggil agar tertarik pada sesaji yang akan kurbankan dan mau menerimanya (Roh halus yang diberi persembahan adalah roh yang membantu dukun dalam melakukan pengobatan yang biasa disebut dengan Epel). Musik yang digunakan pada prosesi ini adalah irama musik Bawakng Baramutn yang merupakan tabuhan khusus prosesi tersebut.
Sesaji sesunggungnya dipersembahkan untuk makhluk halus agar tidak mengganggu atau mau memaafkan orang yang sakit. Ia dipanggil dan diberi makan untuk diadakan perdamaian. Disamping itu sesaji dipersembahkan pula kepada makhluk halus yang bersifat baik, yang membantu pamaliatn menjalankan tugasnya mengobati orang sakit. Setelah prosesi Baramutn, pamaliatn dan para pembantunya beristirahat menunggu sesaji masak. Kesempatan ini dipergunakan untuk mengobrol tentang penyakit yang diderita si pasien atau tentang hal lainnya. Keakraban antar warga yang hadir dan memberi dukungan kepada keluarga si sakit mengalir dengan hangat. Dari sini dapat diketahui bahwa upacara Baliatn dapat menyatukan masyarakat dalam kebersamaan, karena upacara tersebut dipandang sebagai wadah kepedulian masyarakat. Fungsi ini dikandung pula oleh musik yang berperan sebagai penopang keharmonisan hubungan antar masyarakat.
f) Jubata masak
Prosesi Jubata Masak adalah kegiatan dimana semua sesaji telah masak dan ditempatkan dalam satu nyiru (Tempat menampi beras yang terbuat dari bambu yang dibelah tipis berbentuk bundar). Pamaliatn memeriksa sesaji yang dipersembahkan apakah sudah lengkap dan benar bentuknya sebelum dinaikkan ke Ancak yang terbuat dari pohon nipah dan bambu berbentuk persegi empat. Ancak digantung pada sebuah tiang ruang tengah rumah, kemudian ditabuh Irama Jubata Masak untuk mengiringi pamaliatn membaca mantra. Ia membacakan vokal mantra sambil diiringi musik untuk mengkomunikasikan hajat keluarga yang melaksanakan upacara. Ritual ini bertujuan untuk membangun keharmonisan hubungan manusia dengan alam gaib (makrokosmos dan mikrokosmos), sehingga kehidupan keluarga tersebut dapat berjalan dengan aman dan sejahtera.
Musik merupakan seni yang di dalamnya tersimpul unsur komunikasi (Binsar Sitompul, ed: 1975, hal. 18). Komunikasi melalui musik merupakan simbol kesatuan dikotomi, antara dunia gaib dan alam nyata. Ia memerlukan pengakuan dan pengagungan, sekaligus penghormatan dalam sebuah wadah sakral (upacara), sehingga segala wujud pengejawantahan itu akan tampak nyata dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
g) Notor
Prosesi Notor merupakan pemberian makan kepada para makhluk halus dengan pupuk saraba sadikit, yang isinya nasi sunguh (nasi biasa) sedikit, nasi poe (ketan) sedikit, cucur sedikit, daging dan hati ayam sedikit dicampur dengan garam sedikit dan darah ayam yang diletakkan secara terpisah. Pada upacara ini tidak ditabuh musik, karena pamaliatn memerlukan keheningan dalam membaca doa (nyangahatn) sambil meletakkan beberapa sesaji di depan pene (tangga) rumah.
h) Bajampi atau Muang Singkaro (membuang penyakit)
Bajampi adalah membuang penyakit dengan Tapong Tawar atau memercikkan air kepada si pasien. Ritual ini dilakukan dengan cara mengoleskan Baras Banyu di dahi si sakit untuk mengusir penyakit yang diderita. Pada prosesi ini banyak tabuhan yang dimainkan, tergantung dari jenis penyakit dan banyaknya orang yang berobat. Hal ini karena rata-rata upacara Baliatn digunakan masyarakat untuk penyembuhan secara masal, sehingga banyak jenis penyakit yang harus disembuhkan.
Musik yang digunakan dalam upacara dimainkan dengan maksud dan tujuan religius yang bersifat magis. Pelaksanaannya berhubungan dengan kepentingan upacara atau prosesi dalam upacara itu sendiri. Selain itu musik tersebut dimainkan untuk memanggil makhluk halus yang nantinya kekuatan dari makhluk halus tersebut dimanfaatkan pamaliatn untuk melaksanakan tugasnya dalam upacara ritual perdukunan. Sebagai contoh irama musik Sipanyakng Kuku, yang dimainkan untuk mengobati orang susah melahirkan dan gatal-gatal. Contoh lainnya seperi irama Kandoleng yang dimainkan untuk mendatangkan makhluk halus yang bernama Kandoleng. Makhluk ini dipanggil agar merasuki pamaliatn saat menerangkan penyakit si pasien dan menerangkan obat untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Terkadang pemaliatn menggunakan bahasa mantra seperti sastra halus, sehingga keluarga si sakit tidak mengerti bahasa tersebut. Oleh karena itu ditabuh irama musik Kandoleng untuk mendatangkan setan Kandoleng yang akan menerangkan penyakit dan penawarnya dalam bahasa sehari-hari.
i) Ngaranto
Prosesi ini merupakan penggambaran perjalanan religius Pamaliatn di alam gaib. Perjalanan itu tidak seperti perjalanan pada umumnya, yang berjalan adalah badan halus Pamaliatn untuk mencari dan mengembalikan sumangat (badan halus) kepada si sakit dengan cara menari dan menyanyi sambil diiringi musik. Masyarakat dayak Kanayatn percaya bahwa orang sakit semangatnya pergi ke suatu tempat di alam gaib dan tersesat di sana. Hal ini terjadi karena ada kesalahan manusia yang menyebabkan badan halus itu tidak betah menempati badan kasarnya (jasad), oleh karena itu harus dilakukan perjalanan ke alam gaib untuk mencari dan mengembalikan sumangat (badan halus) orang sakit tersebut.
Seluruh irama musik Nyaranto yang dimainkan merupakan penggambaran alam gaib yang dilalui pamaliatn. Sebagai contoh irama Patabakng Urakng Mati yang menggambarkan alam gaib yang ditempati orang mati, Anyut-anyut Titi Sawa yang menggambarkan jembatan berayun dan mau runtuh yang terdapat di alam gaib. Begitu pula dengan tabuhan Ne’ Jule, di situ digambarkan sebuah rumah yang bertiang satu, berdinding satu, beratap satu, dan berpintu satu, sebagai rumah orang yang sudah mati dan tidak cocok ditempati orang yang masih hidup. Keadaan itulah yang digambarkan dalam musik dayak Kanayatn dan diperjelas melalui vokal mantra. Terkadang musik yang ada dalam rumpun musik Ngaranto ditabuh semuanya, namun terkadang hanya sebagian, tergantung sampai dimana pamaliatn mendapatkan sumangat orang sakit tersebut.
j) Jubata Pulakng
Prosesi ini adalah prosesi akhir dari upacara yang dilakukan malam pertama. Irama yang ditabuh adalah irama musik Jubata Pulakng. Fungsi musik pada prosesi ini lebih mengarah kepada penggambaran simbolis (keagungan) dimana Jubata, roh leluhur, dan roh halus yang hadir dipulangkan dengan musik yang indah dan agung sebagai lambang penghormatan dan terimakasih.
Silahkan baca sambungan tulisan ini pada artikel Musik Dayak Kanayatn Dalam Upacara Baliatn Nyande 2
Kepustakaan
- Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 30 April 2006, Dsn. Saleh Bakabat, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.
- Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 17 April 2006, Dsn. Saleh Bakabat, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Dijinkan untuk dikutip.
- A.C. Kruyt, “Het Animisme in den Indischen Archipel”, seperti dikutip Koentjaraningrat dalam bukunya Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987).
- Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 1991).
- Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 13 April 2006, Dsn. Saleh Bakabat, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diizinkan untuk dikutip.
- Despiarni, Tari Lukah Gilo Sebagai Rekaman Budaya Minangkabau Pra Islam: Dari Magis Keseni Pertunjukan (Yogyakarta: Kalika, 2004).
- Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-Artefak Kabudayaan Indonesia Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002).
- Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 13 April 2006, Dsn. Saleh Bakabat, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.
- Binsar Sitompul, ed., Pesta Seni 1974 (Dewan Kesenian Jakarta, 1975).