Skip to main content

follow us

kebun kopi percussion pontianak
Manusia mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan dan dapat dikatakan sebagai makhluk yang berbudaya. Kebudayaan itu terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai luhur sebagai hasil dari kehidupan manusia. Begitu eratnya hubungan manusia dengan simbol-simbol, ia dapat dikatakan sebagai makhluk yang bersimbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan simbolis. Ungkapan-ungkapan simbolis inilah yang menggambarkan kehidupan, tingkah laku, perjalanan hidup, dan nilai-nilai budaya yang dimiliki suatu masyarakat.

Manusia tidak pernah menghadapi lingkungan fisik secara langsung. Mereka selalu mendekati alam (dan isinya) melalui budaya, melalui berbagai sistem simbol, makna dan nilai (Lahajir: 2001, hal. 41). Seperti dikatakan Ernst Cassirer bahwa:
"Manusia dapat disebut sebagai hewan yang bersimbol (Animal Simbolicum). Manusia tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali dengan berbagai simbol” (Budiono Herusatoto: 1991, hal. 9).
Masyarakat dayak Kanayatn mengenal alam nyata dan hubungan dengan alam gaib melalui simbol-simbol. Simbol tersebut merupakan ide-ide yang melambangkan maksud tertentu (Fx. Widaryanto: 1988, hal. 128). Dalam kehidupan masyarakat dayak Kanayatn, simbol-simbol yang dikomunikasikan merupakan konsep hubungan relegius antara manusi dengan Tuhan, manusia dengan alam gaib, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam nyata (lingkungannya) yang kemudian ditranspormasikan ke dalam musik yang mereka miliki. Apa yang digambarkan dapat dimengerti lewat musik tersebut, sehingga musik itu dapat dipastikan mengandung simbol-simbol sebagai pengejawantahan persepsi masyarakat tentang kehidupannya.
Musik dapat dikatakan sebagai sebuah bahasa simbolik. Musik merupakan sebuah bentuk yang bermakna (significant form). Makna tersebut adalah sesuatu yang diungkapkan melalui simbol. Musik merupakan objek rasa dengan melalui kecemerlangan struktur dinamikanya dapat mengungkapkan bentuk-bentuk pengalaman penting yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa (Alan P. Merriam: 2005, hal. 3). Dengan demikian tidak dapat diragukan lagi, bahwa musik bersifat simbolik (Ibid.). Melalui musik pula masyarakat dayak Kanayatn memberikan pemaknaan tentang kebudayaannya yang terangkum dalam ide musikal mengenai alam pikiran, alam budi, tata susila, termasuk pula karya manusia.
Kebanyakan nilai kehidupan masyarakat dayak Kanayatn dilambangkan dalam bentuk simbol, sehingga apa yang diungkapkan melalui simbol dapat ditangkap oleh manusia lainnya, kemudian dipelajari, dihayati maknanya, dan diterapkan dalam kehidupan. Contohnya seperti simbol-simbol pada Pantak, tari, upacara, dan musik dayak Kanayatn. Pantak dianggap sebagai lambang penghormatan kepada nenek moyong yang telah berjasa dalam kehidupan. Musik dianggap sebagai bahasa komunikasi simbol, sedangkan upacara dianggap sebagai wadah sakral yang dapat menghubungkan dunia gaib dan hubungan manusia dengan Jubata. Oleh karena itu musik dapat dianggap sebagai refleksi kehidupan sosial yang dijalani masyarakat dayak Kanayatn. Ia juga dianggap sebagai transpormasi nilai-nilai kehidupan yang tersimpul dalam adat dan tradisi, lambang penghormatan kepada pada leluhur, dan hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Simbol-simbol dalam budaya masyarakat dayak Kanayatn secara menyeluruh dapat dilihat dalam setiap upacara ritual. Simbol itu dapat dibagi menjadi dua bagian: Simbol Material, yaitu simbol-simbol yang melekat pada medium benda yang sifatnya yang dapat dilihat dan diraba (peralatan atau alat peraga upacara), seperti sesaji dan perangkat upacara lainnya. Simbol nonmaterial, yaitu simbol-simbol yang melekat pada medium yang tidak dapat dilihat dan diraba, seperti musik Dayak Kanayatn.

Antara sesaji dan musik merupakan sesuatu yang harus ada dalam setiap upacara ritual. Kedua medium ini tidak dapat dipisahkan, karena simbol material mengandung makna penghormatan dan pengagungan, sedangkan simbol nonmaterial mengandung makna komunikasi terhadap roh halus, roh para leluhur, dan Jubata. Seperti kata pepatah Nana’ musik Jubata bera, nana pajaji antu bera, artinya tidak ada musik (dalam upacara) Jubata marah, tidak ada sesaji (dalam upacara) makhluk halus (hantu) marah (Alimin Ala: 12 April 2005). Hal ini berhubungan dengan pernyataan Noerid Haloei Radam yang mengatakan bahwa:
“Upacara dan perlengkapan atau peralatan adalah dua unsur religi yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya amat berkaitan erat dalam pengertian yang satu memerlukan yang lain. Dalam religi masyarakat bersahaja, suatu upacara tidak atau belum boleh dilaksanakan bila peralatan yang harus menyertainya tidak atau belum lengkap.” (Noerid Haloei Radam: 2001, hal. 30).
Sifat-sifat religi masyarakat yang dapat digolongkan bersahaja sering dikatakan sintetik dan relativistik. Hal ini dapat dijelaskan dari pemahaman dualisme dan pluralisme yang merupakan keutuhan, kebulatan, dan totalitas tunggal (Jakob Sumardjo: 2002, hal. 10). Sistem kepercayaan seperti ini masih terdapat pada mitos yang dianggap sebagai kitab suci orang dayak, karena masyarakat percaya bahwa mitos sebagai sumber lahirnya adat dan norma sosial. Mitos dikatakan sebagai simbol yang mengandung penggambaran kehidupan nenek moyang yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi kegenerasi, oleh karena itu musik Dayak Kanayatn mempunyai kebulatan makna menyeluruh dari adat istiadat dan hubungan religius dalam kehidupan yang dijalani masyarakatnya. Keterkaitan kedua simbol material dan non material ini tidak dapat dipisahkan, karena keduanya merupakan kebulatan yang saling melengkapi dan memberikan arti antara satu dengan lainnya.

Mengamati musik Dayak Kanayatn yang digunakan dalam upacara ritual perdukunan masyarakat dayak Kanayatn, dapat dikemukakan beberapa simbol. Simbol ini dapat terkait dengan penamaan beberapa jenis seperti Bagu, Bawakng, Jubata, dan lain-lain. Adapun beberapa simbol dalam dalam musik Dayak Kanayatn adalah sebagai berikut.

1. Simbol Penyucian
Pembersihan diri biasanya dilakukan sebelum upacara maupun saat upacara berjalan. Lambang penyucian ini terdapat dalam irama musik Bagu. Musik ini menggambarkan penyucian manusia dengan air yang mengalir di sungai Bagu sebelum pamaliatn melakukan perjalanan religius ke gunung Bawakng. Sesuatu yang disucikan adalah badan kasar dan badan halus manusia, sesaji, tempat upacara, dan perlengkapan upacara. Kelima media yang disucikan itu dianggap sebagai wilayah sakral pada alam manusia dan merupakan gerbang untuk berhubungan dengan dunia gaib.

Pandangan masyarakat dayak Kanayatn menyatakan bahwa sesuatu yang bukan dunia manusia belum merupakan sebuah dunia. Sesuatu wilayah dapat dijadikan milik manusia hanya dengan membuatnya baru kembali, yaitu dengan mentahbiskan atau mensucikannya (Nuwanto: 2002, hal. 26). Melalui irama musik Bagu sebagai lambang kesucian, mereka mentahbiskan wilayah sakral tersebut.

Secara harafiah air dianggap sebagai lambang kehidupan manusia yang dapat mensucikan. Sama halnya dengan air yang digunakan untuk bersuci sebelum sholat oleh umat Islam, ia merupakan simbol penyucian badan halus dan badan kasar sebelum menghadap kepada Tuhan. Air juga merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar, baik untuk dikonsumsi maupun untuk kepentingan lainnya. Oleh karena itu irama musik Bagu diibaratkan sebagai air sungai yang dapat membersihkan dan sebagai sumber kehidupan baru bagi orang yang diobati. Jika di India ada sungai Gangga, maka di masyarakat dayak Kanayatn ada sungai Bagu.

2. Simbol Perjalanan Religius
Perjalanan religius yang dimaksud adalah perjalanan menuju gunung Bawakng yang merupakan suatu tempat asal mula nenek moyang suku dayak Bukit (Dayak Kanayatn). Tempat ini dianggap keramat, karena dipercaya sebagai tempat Ne’ Baruakng Kulub turun ke bumi dan menurunkan padi kepada manusia. Selanjutnya beliau mengajarkan Adat Nang Lima (adat lima) kepada keturunannya. Daerah ini dipercaya pula sebagai tempat asal mula Baliatn Tujuh (Alimin Ala: Op.Cit.). Simbol ini terdapat dalam irama musik Bawakng dan bila irama musik tersebut mau ditabuh Pamaliatn mengucap Ka’ Bawakng yang artinya menuju gunung Bawakng (Dukun pergi ke gunung Bawakng untuk berkomunikasi dengan roh leluhur, roh halus, dan Jubata).

3. Simbol Hubungan Religius (Komunikasi)
Religi dalam masyarakat dayak mencakup pula tentang simbol-simbol yang menyatakan hubungan mereka dengan Tuhan. Simbol-simbol itu berfungsi sebagai rujukan untuk menjelaskan dan menata hubungan dengan dunia gaib yang sangat abstrak untuk dimengerti, tentang ilah-ilah atau segala sesuatu yang dipandang tidak dapat dilukiskan. Oleh karena itu mereka mengungkapkannya melalui benda-benda upacara, seperti sesaji, perlengkapan upacara, dan musik yang dianggap sakral dan dapat menghubungkan para pemakainya dengan kekuatan gaib yang samar tersebut. Melalui simbol-simbol itu manusia (orang dayak) dapat memanfaatkannya untuk mencapai tujuan hidup atau melindungi diri dari kekuatan gaib tertentu yang dapat berpengaruh buruk dalam hidupnya. Seperti dikatakan J. Van Baal bahwa:
“Religi adalah suatu sistem simbol yang dengan sasaran tersebut manusia berkomunikasi dengan jagad rayanya. Simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan dan penguasaan diri. Bila tujuan (yakni objek yang dikomunikasikan itu) menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka simbol-simbol itu digunakan sebagai perisai yang melindungi” (Noerid Haloei Radam: op.cit., hal. 3).
Umumnya benda-benda yang dipakai dalam upacara hanya memiliki makna khusus ketika upacara itu berlangsung. Di luar peristiwa itu ia akan menjadi sesuatu hal yang biasa dan kembali kepada maknanya yang intrinsik. Contohnya seperti ayam hitam dalam upacara ritual. Ia dianggap sebagai makanan kesukaan roh-roh halus yang diundang, tetapi di luar konteks itu ia hanya sebagai binatang piaraan. Begitu juga dengan musik dalam upacara ritual, ia dianggap sakral dan mengandung kekuatan gaib. Bila musik itu dimainkan di luar upacara atau dalam kesenian Jonggan, ia hanya sebagai sarana penghibur yang tidak mempunyai kekuatan gaib. Kekuatan gaib itulah yang mendorong manusia dapat berkomunikasi dengan makhluk halus. Hubungan religius ini yang diaplikasikan pada irama musik dayak Kanayatn dalam bentuk simbol. Di situlah masyarakat menyampaikan segala hajat melalui upacara, karena upacara merupakan kesatuan rangkaian berbagai bentuk dan unsur komunikasi dengan ilah-ilah Hyang, roh alam, atau roh nenek moyang (Koentjaraningrat: 1974, hal. 251). Oleh karena itu upacara dan musik merupakan simbol kesatuan dan kesucian yang diungkapkan melalui berbagai bentuk komunikasi terhadap ilah-ilah tersebut.

4. Simbol Keagungan
Masyarakat dayak Kanayatn menganggap Jubata mempunyai sifat Agung. Ia harus dipanggil atau didatangkan dengan menggunakan irama musik yang indah untuk memujiNYA. Irama yang menggabarkan tabuhan ini, seperti Jubata Manta (sesaji dibersihkan dan didandani sebelum dipotong), Jubata Masak (sesaji dibersihkan setelah dipotong), Jubata Babulakng (musik dan tarian untuk Jubata), dan Jubata Pulakng (mengantar Jubata pulang dengan musik). Melalui beberapa irama musik tersebut, Tuhan diagungkan dengan pemberian sesaji. Melalui musik itu pula Jubata sebagai penguasa tertinggi dijunjung dangan segala kemegahan upacara untuk memohon segala restu dan berkah dalam kehidupan.

5. Simbol Perjalanan ke Alam Gaib
Simbol ini mengandung makna perjalanan badan halus Pemaliatn ke alam gaib untuk mengadakan hubungan dengan makhluk halus yang mengganggu manusia dan mengembara mencari semangat orang yang diobati. Pengembaraan pencarian semangat ini dinamakan Ngaranto’. Di sini tergambar adanya dua dunia sebagai wujud kesatuan, yaitu hadirnya dunia gaib pada dunia manusia. Kehadiran itu melalui suatu jembatan yang dilambangkan dengan irama musik Ngaranto.
Daya-daya magi yang terkandung dalam tari dan syair-syair lagu merupakan perwujudan ruang dan waktu yang bersifat magis. Di situ digambarkan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai kesatuan lingkaran, dimana dalam ritual yang dianggap sakral, pemimpin upacara dipercaya dapat menyatu dengan kekuatan magis tersebut. Pada tahapan ini totalitas dunia atas dan dunia manusia senantiasa diperlukan. Dunia atas adalah substansi tak berwujud, abstrak dan tidak terindera, namun terasa kehadirannya. Epistemologi dunia atas bukan empirik dan rasional, tetapi mistik dan berhubungan dengan batin. Ia ada di dunia manusia tetapi tidak dikenal secara empirik keseharian dan di luar nalar akal manusia. Oleh karena itu, pertanda kehadiran dunia atas di dunia manusia harus dikenal lewat simbol-simbol. Seperti halnya dalam irama musik dayak Kanayatn, dimana Dunia Atas dilambangkan dengan Agukng. Dunia Tengah atau dunia manusia dilambangkan dengan Dau. Perpaduan keduanya dilambangkan dengan “bunyi” sebagai simbol hubungan transenden dua dunia tersebut.
6. Simbol Penghormatan
Simbol penghormatan terdapat dalam irama musik Totokng yang dibawakan dalam upacara Totokng, yaitu upacara pemberian makan (prosesi Ngantukng) Kepala Kayauan (kepala manusia yang didapat dengan Mangayau) (Sujarni Aloy: 3 Mei 2005). Di sini yang dihormati bukan orang yang mengayau, tetapi roh orang yang kepalanya dikayau. Tujuannya adalah untuk muakng Sangar (membuang dosa) atau menghindari kutuk dari orang yang dikayau.

Musik dan semua tingkah laku dalam upacara Totokng merupakan simbol penghormatan untuk roh orang yang diKayau. Hal ini karena segala sesuatu yang diekspresikan dalam upacara bertujuan untuk penghormatan, sekaligus memohon keselamatan dan keberhasilan hidup yang akan datang. Upacara ini merupakan refleksi pernyataan ketundukan manusia kepada Tuhan yang menguasai kehidupan dan jagad raya, sehingga dalam upacara tersebut terdapat dua tujuan, yaitu penghormatan kepada roh halus dan kepada Jubata yang merupakan lambang kesatuan antara Dunia Atas (kepada Jubata), Dunia Bawah (kepada roh kepala Kayauan), dan Dunia Tengah (manusia sebagai pelakunya).

7. Simbol Perdamaian
Arti perdamaian yang dikandung musik Dayak Kanayatn adalah lambang perdamaian dengan makhluk halus, dimana makhluk tersebut sengaja didatangkan untuk dimintai perdamaian agar tidak mengganggu manusia lagi. Perbedaan pendapat atau perselisihan dapat saja terjadi tanpa disengaja. Apalagi terhadap makhluk halus yang tidak terlihat mata telanjang. Masyarakat setempat percaya terkadang manusia mempunyai kesalahan karena kelalaiannya sendiri, seperti jalan sembarangan tanpa permisi, sehingga merusak tempat atau mainan makhluk halus dan kencing sembarangan yang dapat mengenai makhluk halus atau rumah mereka. Inilah yang menjadi penyebab makhluk halus itu marah dan membuat manusia sakit (balas dendam), sehingga kalau diobati makhluk halus tersebut harus dipanggil dan diadakan perdamaian dengan cara memberi sesaji dan memainkan musik Dayak Kanayatn.
Konon kabarnya jaman dahulu bila ada perdamaian antara dua suku yang bertikai, maka harus diadakan upacara adat yang diiringi musik sambil dilakukan pembayaran denda adat.
8. Simbol Persatuan
Musik dapat dijadikan lambang persatuan masyarakat. Melalui musik orang dapat mengenali tradisinya, karena ia mempunyai ciri-ciri sesuai dengan budaya yang melingkupinya. Begitu pula musik dayak Kanayatn, ia merupakan perwujudan budaya dan mengandung ciri budaya masyarakat pemiliknya. Musik dianggap sebagai gambaran ruang dan wadah kreatifitas masyarakat, serta gambaran ikatan kekeluargaan. Musik mengajarkan kepada mereka tentang nenek moyang yang sama dan menganjurkan mereka bersatu dalam ikatan kekeluargaan. Bukan saja pada manusia, melainkan juga dengan makhluk halus yang ada di dunia ini, karena mereka mempunyai satu nenek moyang sama, hanya keturunannya saja yang berbeda. Oleh karena itu setiap upacara, makhluk halus yang jahat pun mereka undang dan mereka hormati, sebagaimana layaknya manusia. Sebagai contoh ketika irama musik dayak Kanayatn dimainkan, masyarakat akan merasa dalam suatu ikatan kekeluargaan. Rasa kebersamaan ini berimbas pula pada pergaulan di luar masyarakat dayak. Mereka menganggap setiap orang harus dihormati, sampai kepada tradisi penyambutan tamu, dimana setiap orang datang selalu di beri makan.
Seperti kata pepatah “jangankan talino, asu atakng kame mere’ makan” artinya “jangankan manusia, anjing datang kami beri makan”. Inilah yang dilambangkan dalam irama musik dayak Kanayatn.
Simbol persatuan itu sama halnya dengan bendera. Ia hanya kain berwarna merah dan putih, namun ia mengandung simbol persatuan rakyat Indonesia. Seandainya kain merah dan putih itu belum dirangkai menjadi satu, maka kain itu bukan sebagai simbol persatuan, melainkan hanya kain biasa. Ketika dirangkai dan ditampilkan dalam bentuk bendera negara, barulah ia diakui sebagai lambang persatuan. Begitu pula dengan instrumen, hanya merupakan benda budaya biasa. Ketika instrumen itu dimainkan menjadi sebuah musik, barulah ia menjadi sebuah musik yang mengandung simbol dan diakui sebagai milik bersama. Hal demikian membuktikan bahwa musik tersebut merupakan sebuah simbol dan setelah ia diakui sebagai milik bersama, secara otomatis ia menjadi sebuah lambang persatuan masyarakat pemilik kesenian tersebut.

Kepustakaan
  1. Lahajir, Etnoekologi Perladangan Orang dayak Tunjung Linggang (Yogyakarta: Galang Press, 2001)
  2. Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 1991)
  3. Fx. Widaryanto, Problematika Seni, (Bandung: ASTI Bandung, 1988)
  4. Alan P. Merriam dalam bukunya “Anthropology of Music”, terj. Triyono Bramantyo, Antropologi Musik (Yogyakarta: Perpustakaan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Bagian 3, 2005)
  5. Wawancara langsung dengan Alimin Ala, pemain Dau We’nya, 12 April 2005, Pal 20 Ngabang, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.
  6. Noerid Haloei Radam, Religi Orang Bukit (Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001)
  7. Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-Artefak Kabudayaan Indonesia Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002)
  8. Nuwanto, Sakral dan Profan: Menyingkap Kebenaran Agama (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002)
  9. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1974)
  10. Wawancara langsung dengan Sujarni Aloy, Peneliti Institut dayakologi, 3 Mei 2005, Jl. Budi Utomo Blok A3 No. 2-4, Pontianak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar