Skip to main content

follow us

kebun kopi percussion pontianak
Setiap tingkah laku manusia mengandung nilai-nilai yang memberikan bobot pada hasil perbuatannya. Demikian pula dengan hasil karya manusia, tentunya ia memiliki nilai-nilai sebagai perwujudan kreatifitas untuk dinilai dan dihargai. Tindakan manusia dipandang berharga kalau ia dianggap bernilai. Kalau nilai dari tindakan atau hasil dari tindakan itu terwujud, maka hal itu dapat memuaskan hati. Hal ini terjadi karena kepuasan adalah masalah rasa yang berhubungan dengan hati, soal pengertian adalah soal budi dan sasaran budi adalah pengetahuan. Berarti dibelakang tindakan individu dan masyarakat adalah soal nilai (Sidi Gazalba: 1978, hal. 470). Seperti dikatakan Sidi Gazalba bahwa:
“Nilai berbeda dari fakta. Ia bukan fakta. Fakta berbentuk kenyataan, karena itu ia konkrit, dapat ditangkap panca indera. Fakta itu diketahui, sedangkan nilai dihayati. Oleh karena itu soal nilai bukan soal benar atau salah, tapi soal dikehendaki atau tidak, soal disenangi atau tidak, dan nilai bersifat subyektif" (Ibid., hal. 471).
Adat dan kebudayaan sesungguhnya tidak lain dari pada norma-norma nilai. Adat dan kebudayaan menanamkan kepada ide-ide tentang nilai melalui keluarga atau masyarakat. Proses penanaman ini disebut pendidikan. Melalui pendidikan dan enkulturasi orang mewarisi tata nilai masyarakatnya. Kebudayaan memberikan sebuah ruang untuk diinterpretasi masyarakat tentang bagaimana memandang sesuatu kebiasaan dengan mengacu pada nilai. Oleh karena itu seseorang akan bertindak sesuai dengan tatanan yang mengacu kepada nilai dalam pergaulan sosialnya. Selanjutnya Sidi Gazalba mengatakan:
“Nilai-nilai yang ditanamkan oleh lingkungan seseorang akan membentuk cara pandang dan sikap hidup. Sistem nilai itu mengendalikan cara memandang dan cara bersikap. Kebiasaan dengan nilai-nilai itu menumbuhkan tabiat, yang pandangan sikapnya dikendalikan tata nilai tersebut. Tabiat memancarkan tindakan dan perbuatan melalui kemauan. Cara berlaku-berbuat membentuk cara hidup. Cara hidup disebut kebudayaan, demikian kebudayaan berasaskan pandangan atau sikap nilai. Kebudayaan dikendalikan oleh tata nilai yang hidup dalam masyarakat. Karena tata nilai telah dimiliki oleh sifat atau telah menjadi tabiat, maka dalam berlaku-berbuat tanpa disadari orang digerakkan dan mengarah kepada tata-nilai itu, Maka yang membentuk pola kebudayaan adalah tata-nilai tersebut (Ibid.: hal. 476).
Sebuah sistem nilai merupakan bagian-bagian yang berhubungan dan saling mengisi antara satu dengan lainnya. Sistem ia merupakan perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu totalitas (Departemen Pendidikan Nasional: 2003, hal. 1076). Bagian–bagian itu ada kalanya merupakan bagian yang berdiri sendiri, namun pada sisi lain ia merupakan kesatuan yang saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena nilai merupakan suatu konsepsi yang dapat terungkap secara eksplisit atau implisit, yang menjadi ciri khas individu atau karakteristik suatu kelompok masyarakat mengenai hal-hal yang diinginkan dan berpengaruh terhadap proses seleksi dan sejumlah modus, cara, dan hasil akhir dari suatu tindakan (Tri dayakisni dan Salis Yuniardi: 2004, hal. 49).

Sistem nilai merupakan tingkat yang paling abstrak dalam kehidupan masyarakat. Hal ini karena ia lebih mengarah kepada cara pandang masyarakat terhadap sesuatu. Disamping itu nilai-nilai yang terbentuk menjadi suatu sistem adalah konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam kehidupan, sehingga nilai itu berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah bagi kehidupan masyarakat. Koentjaraningrat mengatakan bahwa:
“Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman konsep-konsep ideal dalam kebudayaan dan memberi dorongan kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya" (Koentjaraningrat: 1974, hal. 190.
Musik dayak Kanayatn merupakan hasil dari aktifitas manusia atau masyarakat pendukungnya. Ia mengandung ciri-ciri dan nilai-nilai yang khas dari masyarakatnya pula. Nilai ini merupakan nilai yang kebanyakan tumbuh dari masyarakat agraris (ladang). Selanjutnya nilai-nilai itu membentuk sebuah pernyataan yang diakui bersama atau dimanifestasikan sebagai pedoman untuk dilaksanakan dalam kehidupan. Begitu pula dengan musik dayak Kanayatn, di dalamnya terdapat nilai-nilai yang membuat eksistensi kesenian tersebut masih dapat bertahan dalam masyarakat. Adapun nilai-nilai itu adalah sebagai berikut.

1. Nilai Adat (tradisi)
Masyarakat dayak Kanayatn adalah masyarakat yang hidup dengan berpedoman pada adat. Segala sesuatu yang mereka lakukan kebanyakan berpatokan pada adat, termasuk pula dalam menjalankan upacara ritual dan penggunaan musik Dayak Kanayatn dalam beberapa upacara. Hal ini telah menjadi ketentuan adat yang tidak dapat dilanggar, karena setiap hukum mempunyai arti tertentu, ketegasan, dan mempunyai sangsi. Selain itu hukum adat ini dianggap mutlak sebagai keputusan bersama dan telah menjadi kebiasaan turun temurun. Hal ini karena adat mencakup keseluruhan peraturan bagi hidup suatu masyarakat.

Kehidupan manusia yang masih bersahaja, seperti masyarakat dayak Kanayatn tidak mempunyai pemisahan yang jelas antara peraturan religius dan peraturan keduniawian. Segala peraturan itu tidak diberikan dalam bentuk undang-undang, melainkan pada cerita mistis yang pada garis besarnya menjelaskan mengapa sesuatu harus dijalankan dengan cara tertentu atau mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan (Mikhail Coomans: 1987, hal. 74). Pada sisi lain, seni merupakan salah satu jalan ke arah pandangan objektif atas benda-benda dan kehidupan manusia. Seni bukan imitasi realitas, melainkan pengungkapan realitas. Eksistensi kesenian itu mengarah kepada pemaknaan nilai adat, tradisi, dan etnisitas sebagai ciri budayanya. Pemaknaannya mencakup sistem budaya yang bersifat abstrak seperti metode, filsafat, dan falsafah, cara berpikir dan bersikap, norma-norma atau pranata, orientasi, dan pandangan hidup yang mempengaruhi dimensi fisik dan sosial (Stefanus M. Darmanto, dalam Johanes Mardimin, ed.:1994, hal. 107).

2. Nilai Sejarah
Nilai sejarah berhubungan dengan cara pandang masyarakat dayak Kanayatn mengenai asal mula musik itu ada. Musik tidak hanya timbul begitu saja, ia lahir dengan sejarahnya sendiri. Musik lahir dengan latar belakang budaya yang tersimpul dalam perjalanan waktu. Ia mempunyai tahapan perkembangan bentuk, fungsi, dan nilai seperti sekarang ini.

Umumnya kemunculan sebuah bentuk pertunjukan rakyat dianggap sebagai warisan budaya turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya (Umar Kayam, dalam Agus Sachari: 2002, hal. 52). Ekspresi yang dihadirkan bukan ekspresi individual melainkan ekspresi kolektif yang memperlihatkan lingkungan masyarakatnya (Sebagian masyarakat dayak Kanayatn percaya bahwa musik yang mereka miliki berasal dari tradisi Baliatn kemudian berkembang dan digunakan di luar upacara, seperti pada kesenian Jonggan). Begitu pula dengan musik dayak Kanayatn dengan sejarahnya sendiri, dimana para leluhur dahulunya mengartikan makna religi dan alam gaib tersebut melalui bunyi musik yang tersusun seperti sekarang ini. Selanjutnya musik tersebut mengandung cerita sejarah dari perjalanan nenek moyang sebagai eksistensi kebenaran dan penyatuan dengan Tuhan. Pada tahapan ini musik secara hakiki merupakan pengejawantahan sejarah perjalanan kehidupan masyarakat pemiliknya.

3. Nilai Estetis
Keindahan atau nilai estetis merupakan sebuah sarana pemenuhan kebutuhan yang selalu dicari manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Nilai estetis juga dibutuhkan sebagai syarat agar suatu kebudayaan muncul dan berkembang sesudah kebutuhan manusia terhadap nilai keindahan itu terpenuhi. Di sini manusia sebagai makhluk individu dan sosial membutuhkan keindahan untuk menyeimbangkan pola pikir dan perbuatan ke arah yang mempunyai nilai filosofis dan religius, baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.

Manusia memiliki kebutuhan akan keindahan sebagai bagian dalam memenuhi eksistensinya. Manusia mulai menyadari nilai-nilai estetik dan cita rasa yang akhirnya membuatnya berupaya meleburkan diri dalam nilai estetik itu sendiri. Selain itu manusia merupakan makhluk yang mengekspresikan diri dalam alam jasmaninya, untuk itu manusia menciptakan berbagai karya kesenian, bangunan, kesusastraan bahkan bangunan-bangunan peribadatan, termasuk pula kesenian tradisional, seperti musik dan tari (Ibid., hal. 43)

Nilai estetis dalam musik dayak Kanayatn lebih mengarah pada pandangan masyarakatnya terhadap musik sebagai suatu wacana keindahan. Masyarakat tidak memandang musik sebagai iringan tari, namun lebih ke dalam sebagai sesuatu hikmah yang bermanfaat dan membahagiakan. Orang dayak Kanayatn memandang musik mereka sebagai seni tradisi dengan cinta yang mendalam, karena penghargaan mereka terhadap karya, pencipta, dan pelaku kesenian disamping keberadaannya yang sangat dibutuhkan masyarakat. Sehubungan dengan ini anggapan baik, indah, dan buruk tidak dipandang sebagai suatu hal yang negatif dan menyengsarakan, namun lebih dipandang kapada suatu hal yang mendatangkan manfaat dalam kehidupan, sebagaimana halnya kebanyakan masyarakat tradisional memandang kesenian mereka sebagai sebuah master piece yang dapat membawa mereka menyingkap arti kehidupan menjadi sebuah kebenaran hakiki. Seperti dikatakan Suryo Mentaram dalam Agus Sachari bahwa:
“Demikian juga dalam memandang keindahan, haruslah berorientasi pada upaya melahirkan cinta dan membahagiakan semua orang, sehingga keindahan itu akan nampak sebagai suatu kebenaran” (Ibid.: hal. 42).
Musik dayak Kanayatn merupakan pengekspresian jiwa masyarakat terhadap keindahan. Nilai estetis itu di wujudkan dengan pola bunyi yang disusun, yang dapat mewakili keinginan dan penggambaran mereka mengenai kehidupan. Ia berpijak pada tatanan realitas sebagai simbol pengungkapan makna budaya masyarakat dengan mengacu pada nilai sakral dan keindahan.

Hadirnya musik dayak Kanayatn dalam masyarakat dianggap sebagai hiburan yang dapat memberikan kenikmatan estetis, baik bagi pelaku maupun penikmatnya. Kenikmatan itu merupakan kepuasan dalam perasaan gembira, senang dan indah, karena proses interaksi melalui komunikasi sosial dalam pertunjukan telah memberikan kenikmatan estetik, semata-mata karena kehidupan fantasi dan perasaan yang berlimpah-limpah (Ibid.: hal. 49). Luapan kegembiraan inilah yang ditangkap oleh masyarakat ketika mereka mendengarkan musik tersebut dimainkan, baik dalam kesenian Jonggan atau dalam upacara.

4. Nilai Etika
Sajian sebuah musik dipandang indah tidak hanya melalui sistem nada-nada yang tersusun dan dapat menghasilkan sebuah lagu yang indah. Di dalamnya terdapat nilai penunjang yang saling berkaitan. Kedua nilai tersebut dapat kita bagi menjadi dua bagian, yaitu nilai internal yang kita kenal dengan nilai estetis dan nilai eksternal yang berhubungan dengan etika atau adab dalam memainkan musik. Nilai-nilai ini tidak terlepas satu sama lain, mereka saling berhubungan dan saling menunjang untuk mewujudkan nilai secara menyeluruh.

Kata etika sering dikaitkan dengan norma atau patokan dalam sebuah tindakan. Etika merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupan (Franz Magnis Suseno: 1984, p. 6). Ia merupakan sikap yang memberikan nilai dalam bertindak dan ia menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan musik, musik dan penyajiannya menjadi kesatuan tatanan perbuatan yang harus dijalankan oleh penampil (pemain musik), seperti sikap duduk dalam permainan, laku ritual sebelum pertunjukan, dan ketentuan lainnya yang berhubungan dengan etika penyajian. Semua itu merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja, karena masyarakat percaya bahwa untuk membawakan musik dayak Kanayatn harus terlebih dahulu diadakan ritual tertentu agar tidak diganggu oleh makhluk halus yang datang ketika musik itu dimainkan. Hal seperti ini tidak dapat dipandang sebagai takhyul, namun ia harus dipandang sebagai etika yang melingkupi musik tersebut. Masalah ini perlu diperhatikan agar musik Dayak Kanayatn terlihat sebagai suatu keutuhan, baik sebagai musik ritual atau sebagai kesenian tradisi yang bersifat profan dengan segala etika yang melingkupinya.

Nilai etika dikaitkan pula dengan norma-norma sebagai lambang penghormatan. Artinya Tuhan yang telah memberikan segala sesuatu kepada manusia harus dihormati dengan jalan menjaga apa yang telah diberikannya. Hubungannya terletak pada penghayatan manusia akan kehidupan. Selanjutnya untuk menjaga keselarasan hubungan tersebut, maka etika harus dijalankan dalam kehidupan, termasuk perilaku ketika bermain musik dalam upacara.

5. Nilai Religius
Kebanyakan masyarakat dayak Kanayatn mempunyai berbagai aspek kehidupan yang saling berhubungan dan pengaruh salah satu aspek itu dominan. Kenyataannya yang paling banyak mendominasi dalam kehidupan masyarakat dayak Kanayatn adalah agama dan kepercayaan. Hal ini menyebabkan sulitnya memisahkan apakah suatu tindakan itu bersifat religius atau duniawi. Pola-pola hubungan saling berkaitan, seperti perjuangan hidup untuk bertahan, pengembaraan, perladangan, perkawinan, tari, dan musik merupakan pernyataan akan penyerahan diri kepada Jubata sebagai penguasa tertinggi.

Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang berkreasi, oleh karena itu ia harus selalu berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa ada kreativitas manusia, alam tidak mempunyai arti apa-apa. Di situlah manusia berpikir, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan untuk memberikan arti khusus terhadap alam dan kehidupan mereka. Arti khusus itu adalah keberadaan alam beserta kehidupan yang di dalamnya ditujukan untuk menunjang keberadaan manusia dan dimanfaatkan untuk keharmonisan kehidupan manusia, serta hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Kesenian dalam masyarakat dayak Kanayatn dianggap sebagai penjelmaan kehendak Tuhan untuk memperkenalkan keindahan kepada manusia. Dalam musik tersebut terdapat konsekuensi erat antara nilai-nilai estetis dan dunia metafisika, terutama kaitannya dengan pengagungan Tuhan yang Maha Tunggal. Penyingkapan realitas religius tersebut merupakan media perenungan akan kebesaran Jubata, sekaligus sebagai sarana perjalanan spiritual menuju penyatuan. Dua spirit suci ini tertuang dalam musik Dayak Kanayatn disertai dengan pengapresiasian masyarakat terhadap nilai keindahan dan nilai ke-Ilahian yang melingkupinya.

Musik dayak Kanayatn merupakan transpormasi dari dua aspek religi, yaitu aspek objektif dan subjektif. Aspek objektif dalam religi orang dayak merupakan perlakuan berulang dari suatu kegiatan profan yang dilambangkan dengan perilaku manusia dalam upacara, seperti menabuh alat musik, menari dalam upacara, dan membaca mantra. Aspek subjektif dilambangkan dengan hasil bunyi yang merupakan wujud estetis ke Ilahian. Segi subjektif ini hanya dapat didengar dan mempunyai penafisran yang berbeda dari masing-masing manusianya, karena segi subjektif merupakan bagian abstrak yang hanya dapat dirasakan dan ditafsirkan secara berbeda oleh individu itu sendiri. Seperti dikatakan Fridolin Ukur bahwa:
“Sistem religi itu sendiri mempunyai dua aspek. Dari segi obyektif, religi melibatkan perlakuan berulang-ulang dari kegiatan tertantu manusia dan oleh sebab itu termasuk wilayah eksternal, sedangkan dari segi subyektif religi merupakan bagian yang tersembunyi dari pengalaman kehidupan batin manusia. Religi pada masyarakat dayak umumnya berpangkal pada kedua aspek tersebut” (Fridolin Ukur, dalam Paulus Florus, et.al., ed.,:1994, hal. 3).
Selanjutnya Hazrat Inayat Khan mengatakan bahwa:
“Menurut pandangan esoterik, musik adalah awal dan akhir alam semesta. Perbuatan dan gerakan yang dibuat di dunia yang kasat dan tak kasat mata, semua bersifat musikal. Jadi, mereka terdiri dari berbagai vibrasi yang menyinggung bidang eksistensi tertentu dalam setiap tindakan”(Hazrat Inayat Khan: 2002, hal. 13).
Musik dan upacara dapat diartikan sebagai wadah yang mengandung nilai religius. Begitu juga dengan religi dan adat adalah dua wacana yang berbeda dalam memberikan penilaian terhadap musik dan upacara tersebut. Hubungan ini dapat dikatakan sebagai hubungan timbal balik yang menyebabkan musik mempunyai nilai seperti yang telah diberikan religi dan adat sebagai pondasi dasarnya.

Manusia dalam kehidupannya mengalami tiga tingkatan, yaitu estetis, etis, dan religius (I.R. Poerdjawijatna: 1974, hal. 139). Pada tingkatan estetis, manusia menuangkan nilai keindahan dalam bentuk karya estetik. Pada tingkatan etis, manusia bertingkah laku dalam kerangka normatif, dalam tingkatan religius manusia mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Tuhan. Pada tingkat ini manusia mengalami tingkatan tertinggi, yaitu tingkatan kehidupan religius dimana segala tingkah laku dan tujuan hidup selalu didasarkan kepada nilai-nilai ke-Tuhanan. Nilai religius inilah yang menjadi tujuan akhir kehidupan masyarakat dayak Kanayatn untuk mencapai kebahagian hidup yang hakiki. Begitu pula dengan musik dayak Kanayatn, ia mengalami tiga tingkatan bentuk secara maknawi (Bentuk musik sebagai pengungkapan ide dan konsep secara filosofis). Pada tingkatan estetis, musik merupakan penuangan segala rasa dan nilai keindahan yang dirasakan manusia. Pada tingkat etis, musik merupakan tatanan normatif sebagai hasil sekaligus pedoman tingkah laku manusia. Pada tingkatan religius, musik merupakan ungkapan tanggung jawab manusia atas segala tindakannya kepada Tuhan.

Fungsi, simbol, nilai merupakan tiga unsur yang harus dipandang sebagai kesatuan untuk mendukung eksistensinya dalam kehidupan masyarakat. Eksistensi itu perlu dijaga untuk mendukung keberadaan masyarakat beserta kehidupannya, sehingga eksistensi bukan hanya berarti sebuah keberadaan secara pasif, tetapi sebagai penunjang bagi keduanya. Inilah makna sesungguhnya dari eksistensi musik Dayak Kanayatn dalam kehidupan masyarakat dayak Kanayatn.

Kepustakaan
  1. Wawancara langsung dengan Sujarni Aloy, Peneliti Institut dayakologi, 3 Mei 2005, Jl. Budi Utomo Blok A3 No. 2-4, Pontianak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.
  2. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Pengantar kepada Teori Nilai (Jakarta: CV Bulan Bintang, Buku IV, Cetakan II, 1978)
  3. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi III, 2003)
  4. Tri dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004)
  5. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1974), p. 190.
  6. Mikhail Coomans, Manusia Daya: Dahulu, Sekarang, Masa Depan (Jakarta: PT Gramedia, 1987)
  7. Johanes Mardimin, ed., Jangan Tangisi Tradisi: Transpormasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1994)
  8. Agus Sachari, Estetika, Makna, Simbol Dan Daya (Bandung: ITB, 2002)
  9. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT. Gramedia, 1984)
  10. Paulus Florus, et.al., ed., Kebudayaan dayak: Aktualisasi dan Transpormasi (Jakarta: PT Grasindo, 1994)
  11. Hazrat Inayat Khan, Dimensi Mistik Musik dan Bunyi (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002)
  12. I.R. Poerdjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: P.T. Pembangunan, 1974)

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar