Skip to main content

follow us

Pola melodi merupakan perbedaan tinggi rendahnya nada yang bergerak dan mengandung ritme. Nada-nada yang berbeda tinggi rendahnya itu bergerak secara berurutan satu dengan yang lain dalam waktu tidak bersamaan (Muhammad Takari, terj.: 1993, hal. 13-17). Pola melodi merupakan unsur penting dalam irama musik dayak Kanayatn dan berdasarkan pola melodi ini pula kalimat-kalimat lagu dan irama musik tersebut dikembangkan, sehingga sesuai dengan lagu yang diiringi. Pola melodi ini kebanyakan divariasi dengan pola ritme oleh instrumen ritmis, seperti Gong dan Gendang, kemudian diekspresikan melalui unsur-unsur dinamika dengan penekanan kuat atau lemah, sehingga sebuah lagu tampak hidup dan berjiwa.

Ada beberapa unsur musikal yang berkaitan dengan melodi, diantaranya: (1) Tangga nada; (2) Nada dasar; (3) Wilayah nada; (4) Jumlah nada-nada; (5) Jumlah interval; (6) Pola-pola kadensa; (7) Formula-formula melodik; dan, (8) Kontur (Karl Edmund Prier: 1996, hal. 27). Unsur-unsur yang terkait dengan pembentukan pola melodi dapat dikaji menggunakan tujuh kemungkinan pembentukan motif. Hal ini karena dasar sebuah komposisi adalah persatuan atau keutuhan lagu. Perkembangan motif ini antara lain dapat dicapai melalui pengulangan motif pada saat dan cara tertentu (A.A. Made Djelantik: 1980, hal. 14). Namun perlu diingat bahwa keharmonisan dalam irama musik dayak Kanayatn lebih menekankan pada keserasian hubungan pola tabuhan Dau We’nya dan Dau Naknya, sedangkan keutuhan dan keserasian dengan lagu terjadi jika lagu menyesuaikan dengan motif tabuhan atau irama musik tersebut. Hal ini karena motif tersebut kebanyakan digunakan untuk mengiringi tarian dalam upacara dan menjadi sebuah dasar pembentukan melodi lagu.

Irama musik dayak Kanayatn mempunyai beberapa macam pola melodi. Hal ini karena dalam irama musik dayak Kanayatn motif lagu kebanyakan merupakan nada-nada yang mengisi ruang satu dan dua birama (am dan am1). Motif yang mengisi ruang dua birama biasanya menjadi bentuk baru sebagai pengembangan melodi pada birama sebelumnya. Adapun bentuk pengembangan motif dalam irama musik dayak Kanayatn adalah sebagai berikut.

a. Pengulangan Harafiah
Pengulangan harafiah yang terjadi dalam irama musik dayak Kanayatn adalah pengulangan dari anak motif, karena motif yang mempunyai dua ruang birama biasanya terdiri dari dua potongan motif, yaitu am dan am1. Pengulangan ini dilakukan menyesuaikan dengan motif tabuhan Gadobokng yang mengisi penuh dua ruang birama. Selain itu pengulangan secara harafiah dilakukan untuk mempertegas suasana dan karakter musik yang disampaikan, seperti riang, agung, khidmat, dan lain sebagainya.

jubata babulakng

Pelebaran pola ritme pada tabuhan Gadobokng dilakukan dengan maksud mempertegas perbedan am dan am1. Hal ini karena kedua motif itu sama persis, sehingga untuk membedakannya pola ritme tabuhan Gadobokng dilebarkan, dengan begitu ketegangan dapat diturunkan.

tingkakok

Pengulangan harafiah dengan penggunaan nada berbeda terdapat pada am1 dan am2 pola tabuhan Dau We’nya. Pengembangan itu terletak pada dua ketuk terakhir bagian am1 dan dua ketuk pertama am2, yaitu dengan melebarkan jarak interval pada pemakaian harmoni dua nada dari sekonda (am) menjadi kwart. Penggunaan variasi seperti ini dimaksudkan untuk memberikan nuansa berbeda dalam satu irama, sehingga terdapat dua karakter yang berbeda pula, seperti kuat-lemah, halus atau lembut-tegas, dan lain sebagainya. Meskipun susunan melodi dan ritme tergolong sederhana, namun tingkat kejenuhan dapat dihindari. Berbeda dengan umumnya motif pendek dalam musik tradisi dayak Kanayatn yang cenderung monoton. Keunikannya terletak pada perhentian ketukan ketiga, sehingga nada-nada pada ketukan kedua terkesan menggantung atau terputus. Ketukan ini juga terdengar seperti ketukan berat, maka bila berhenti sampai di situ setelah beberapa kali pengulangan, musik tersebut akan tetap enak didengar, karena sesuai atau menjadi sambungan dengan intro yang membentuk potongan motif tersendiri.

panyinggotn

b. Sekuen Turun
Sebuah motif dapat diulang pada tingkat nada yang lebih rendah, namun dalam pemindahan ini kedudukan nada harus disesuaikan dengan nada instrumen lain yang mengikutinya, misalnya instrumen Dau We’nya dengan Dau Naknya. Perubahan pola melodi Dau We’nya secara otomatis akan merubah pola melodi Dau Naknya untuk membentuk penyesuaian nada atau harmoni bagi kedua instrumen tersebut.

Sekuen turun pada motif di atas terjadi pada am1 dengan memberikan variasi ritme, yaitu dengan melebarkan ritme pada ketukan kedua. Sekuen turun digunakan untuk menurunkan ketegangan yang ditampilkan pada am atau potongan anak motif pertama, sehingga suasana yang ditampilkan dapat berubah, yang tadinya dianggap sakral dan mencekam menjadi suasana hening dan tenang. Hal ini karena penyempitan dan pelebaran berpengaruh pula pada karakter lagu, dari tenang menjadi tegang dan sebaliknya. Meskipun kebanyakan nada yang dimainkan masih termasuk dalam rumpun satu akor, namun perbedaan itu akan tampak jelas pada masing-masing irama. Selanjutnya untuk mengembalikan musik tersebut pada nuansa awal atau ketegangan kembali, maka sangat cocok digunakan pengulangan secara harafiah pada potongan motif selanjutnya sekaligus untuk kembali kepada tonika.

Sekuen naik tidak ditemukan pada irama musik dayak Kanayatn, karena tabuhan secara keseluruhan dimulai dari nada do pada Dau We’nya atau nada tertinggi setiap pengambilan melodi pokok tabuhan. Hal ini menyebabkan pengembangan melodi tersebut tidak memberi peluang terhadap penggunaan sekuen naik, tetapi hanya mempunyai peluang untuk sekuen turun pada pengembangan selanjutnya. Sekuen turun dapat terjadi pada pengembangan motif terhadap motif yang sudah dikembangkan. Pengembangan seperti ini hanya terjadi pada melodi pokok lagu dan prelude, bukan melodi pokok irama musik dayak Kanayatn.

Kepustakaan
  1. Muhammad Takari, terj., Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia (Padang Panjang: Universitas Sumatera Utara Press, 1993)
  2. Karl Edmund Prier, Ilmu Bentuk Musik (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1996)
  3. A.A. Made Djelantik, Ilmu Estetika Jilid I: Estetika Instrumental (Denpasar: STSI Press, 1980)

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar